Rabu, 10 November 2010

Saya Dicap “Orang Gila”

buku-muriDalam acara pemberian penghargaan terhadap Lembaga Bimbingan Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), saya benar-benar “dianggap” oleh rekan saya yang juga direktur MURI, Jaya Suprana.
Dalam acara yang diselenggarakan pada hari Jum’at 2 Juli 1999 yang lalu, saya di cap sebagai “orang gila” oleh Jaya Suprana. “Betapa tidak”, kata Pak Jaya, “Usaha yang dibuka pa Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak Purdi memang demikian “gila” berani membuka usaha yang saya nilai sebagai industry bimbingan belajar terbesar di Indonesia,” tutur pakar kelirumologi tersebut. Lebih lanjut dikatakannya “Karena itulah, saya rela menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini kepada Pak Purdi. Padahal, saya sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie. Tapi karena ada acara ini, acara di Bina Graha saya batalkan,” demikian kelakar Bos Jamu Jago itu.
Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan , saya juga dibilang “gila”, karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Dan memang, pada usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu. Primagama telah berkembang lagi, dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang tersebar di 16 provinsi.
“saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil resiko adalah pekerjaan biasa,” demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya.
Entrepreneur lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto saat ini pun berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian. Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna. Tapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang orang-orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high achiever) dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena “hujatan”. Padahal belum tentu memiliki kepandaian dan keterampilan yang memadai untuk memulai usahanya.
Entrepreneur itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya. Berani meraih peluang. Tidak pernah takut.
Menurut Marianne Williamson, ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan, bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu menghitung feasibility-nya dan tidak memulai usahanya. Sementara, peluang yang sama telah direbut orang lain.
Saya tidak menyarankan untuk tidak menghitungrencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retail-nya dulu baru berfikir kemudian. Ternyata betul juga, begitu retailnya dibuka, banyak orang yang menitipkan barang (konsinyasi), dimana hal tersebut tak pernah difikirkan. Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan modal. Dan banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Keberanian seorang entrepreneur untuk berwirausaha itu sama dengan keberanian menghadapi resiko. Kalau dengan negative thinking risiko akan sama dengan bahaya. Tapi kalau positive thinking, maka resiko itu sama dengan rezeki. Risiko yang didapat pun kecil. Contohnya, tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring, maka penghasilan pun kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar. Sehingga, seberapa besar rezeki yang diinginkan, sama dengan seberapa besar Anda mengambil resiko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar