Senin, 08 November 2010

Muda di Pucuk Tahta

Makin banyak anak muda yang menduduki posisi puncak di bawah usia 40 tahun. Ada banyak faktor yang menjadi pemacunya.
Dua minggu lalu, Jeanne Kairupan (45 tahun) begitu terpana membaca database ribuan curriculum vitae eksekutif Indonesia yang ada di perusahaannya. Perempuan yang baru sebulan bekerja di perusahaan perwakilan executive search global ini begitu kagum, ternyata banyak sekali anak muda Indonesia yang meski usianya belum genap 40 tahun sudah menduduki posisi puncak di berbagai perusahaan terkemuka, baik yang ada di Indonesia maupun di level global. Ada yang menjadi chief executive officer, direksi, atau minimal general manager.

Apa yang dijumpai Jeanne, anak-anak muda yang bertakhta di puncak (young on top), adalah fenomena menarik. Ya, kini semakin banyak kalangan muda usia memimpin, punya otoritas dan tanggung jawab terbesar di organisasinya. Mereka memimpin ratusan atau bahkan ribuan karyawan, yang bisa jadi banyak di antaranya berusia dua kali lipat dari usianya.

SWA membagi young on top dalam empat kategori besar. Pertama, mereka yang menduduki posisi puncak di perusahaan bukan miliknya, jadi berlatarbelakang profesional murni. Kedua, mereka yang di perusahaan keluarga, yang dibangun ayah atau kakeknya. Ketiga, mereka yang sukses di bisnis yang mereka rintis sendiri (entrepreneur). Dan, keempat, mereka yang sukses di bisnis keluarga dan sekaligus juga di bisnis milik sendiri. Tentang siapa saja yang masuk kategori tersebut, bisa disimak pada Tabel.

Di kalangan BUMN yang selama ini lebih dikenal menerapkan pola manajerial konservatif, sekarang juga mulai muncul anak-anak muda di puncak-puncak pengambilan keputusan. Lihat saja Jimmy Gani yang di usia belum genap 40 tahun telah menduduki posisi Direktur Utama PT Sarinah (Persero). Pria kelahiran 15 September 1972 ini sejak Mei 2009 dipercaya pemerintah membenahi manajemen dan mengembangkan bisnis ritel pelat merah itu. Lalu, masih di lingkungan BUMN, Katherina Patrisia dalam usia 34 tahun juga sudah dipercaya menduduki posisi direksi di PT Boma Bisma Indra.

Di dunia perguruan tinggi pun demikian. Mulai terkuak sekat-sekat senioritas, dan jalan meritokrasi pun menjadi lempang. Jangan heran, di kalangan perguruan tinggi (akademis) pun kini makin terbuka peluang bagi anak-anak muda tampil di puncak. Contohnya, Firmanzah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Anies Baswedan di Universitas Paramadina.

Pada masa-masa sebelumnya, hampir mustahil orang semuda Firmanzah bisa menjadi dekan FE-UI. Kalau bukan profesor yang sudah ubanan, minimal mesti doktor senior yang menduduki posisi prestisius itu. Namun, kini tembok senioritas pelan-pelan bisa dikuak di perguruan tinggi sehingga dengan kemampuannya, Firmanzah bisa menjadi dekan meski baru 32 tahun. Demikian pula Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina. Anies yang pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 100 tokoh intelektual dunia oleh Jurnal Foreign Policy di Washington, AS, menempati posisi rektor pada usia 38 tahun.

Profesional Indonesia yang sukses saat masih muda tak hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di mancanegara. Sebut saja Lilian Fandriana, perempuan yang sukses menduduki Presiden Mature Asset Operations di British Petroleum Asia Pasifik. Tentu saja, itu prestasi yang cemerlang karena persaingan karier di bisnis minyak & gas sangat kompetitif.

Lalu, juga ada Ali Permadiono Sumedi, yang mampu mengemban tugas sebagai Direktur Inovasi Komersial The Coca-Cola Export Corporation Filipina. Ali juga bertugas mengelola dan memimpin proses inovasi di Coca-Cola System, Filipina. Di sana ia memegang peran kunci karena memimpin proses transisi dan ambil alih perusahaan di Filipina, termasuk menyiapkan business plan. “Saya juga merangkap sebagai Region Director Mindanao di mana volume penjualan di region ini hampir sama dengan volume penjualan Coca-Cola di Indonesia,” kata lelaki yang akrab disapa Dion itu.

Bila dilihat, peran yang dijalankan anak-anak muda brilian itu memang sangat signifikan. Tingginya jabatan mereka bukan semata-mata simbol tanpa isi. Contohnya bisa dilacak pada mereka yang di bisnis keluarga, seperti Agus Sudwikatmono (CEO Grup Indika), Anindya Bakrie (CEO Bakrie Telecom) dan Ciliandra Fangiono (CEO Ciliandra/Grup Surya Dumai) yang benar-benar telah memegang peran utama di kelompok usaha masing-masing.

Atau, lihatlah Yeanee Keet di Grup Denpoo. Yeanee, selain memimpin dan mengelola tiga pabrik di Indonesia dan tujuh pabrik di Cina, juga sudah bertindak sebagai CEO meski secara formal masih ayahnya yang bertitel sebagai presdir. Di tangannya, Denpoo sukses berekspansi ke berbagai negara seperti Australia, Myanmar, Mauritius, Madagaskar dan Papua Nugini.

Demikian pula Feny Djoko Susanto, Presdir PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Perempuan ini mengendalikan 3.535 gerai Alfa dengan total karyawan 38 ribu orang. Feny juga aktif membangun pasar di luar negeri, dengan mendirikan gerai Alfamart di Vietnam. “Sekarang Alfamart hanya orang di Indonesia yang tahu, tapi nantinya dikenal juga di Vietnam. Untuk sementara kami join venture dengan pengusaha di sana. Kami pakai logo Alfamart,” papar lulusan Ohio State University itu.

Adisatrya Suryo Sulisto, CEO Grup Satmarindo, pun demikian. Ia mampu men-turnaround bisnis yang didirikan ayahnya itu dari terpaan badai krismon. Pria ini telah melakukan banyak perubahan besar, dari merestrukturisasi keuangan, mengubah fokus bisnis, hingga merombak SDM dan manajemen perusahaan.

Di antara anak-anak muda ini, juga banyak yang sukses membangun bisnis sendiri. Misalnya, Arya Witoelar, yang berhasil membangun bisnis perkebunan sawit dan tambang batu bara melalui Grup Watala. Atau, Ferry Agus Wibowo, yang meski baru berusia 30 tahun sudah menjadi pengusaha properti terbesar ketiga di Yogyakarta, melalui bendera PT Tiga Saudara Group. Juga, Michael Wiluan, putra Kris Taenar Wiluan (Grup Citra Tubindo), yang sukses mengembangkan bisnis properti dan pariwisata dengan bendera Grup Turi. Michael mengembangkan resor terpadu di wilayah Nongsa, yang terdiri dari resor, vila, terminal kapal feri untuk menyeberang ke Singapura plus tempat parkir yacht, dan lapangan golf. Ia pun memiliki bisnis multimedia dan animasi.

Fenomena tadi menjadi bukti bahwa saat ini untuk menduduki posisi puncak di hierarki bisnis tak lagi harus menunggu sampai usia tua, 50 tahun ke atas. Tidak. Di bawah 40 tahun atau bahkan 30 tahun pun bisa. Dan itu bukan isapan jempol karena sudah banyak fakta yang menjadi pembenar akan kesimpulan itu. Banyak fasilitas dan sarana yang bisa menopang profesional muda untuk meniti karier lebih cepat. Apalagi, didukung keberadaan dunia maya yang memungkinkan transfer pengetahuan dan pengalaman secara lebih mudah.

Lilian Fandriana pun membenarkan bahwa di Indonesia kini mulai terjadi pergeseran cepat dalam dunia karier dan bisnis. Dulu hampir setiap orang berada di pekerjaan yang sama sampai akhir hayatnya. Lalu, pucuk-pucuk kepemimpinan di bisnis biasanya diisi orang-orang yang sama dalam waktu rentang periode bahkan sampai puluhan tahun. “Tapi itu kini sudah menjadi model yang kuno,” ujarnya.

Dalam hal ini, Lilian melihat pendidikan merupakan salah satu hal yang bisa memungkinkan seseorang berada di puncak secara cepat. Sekarang banyak orang muda mempunyai akses luas mencapai pendidikan yang lebih tinggi. “Itu merupakan salah satu faktor mengapa mereka begitu kompetitif, apalagi setelah mid career mereka mengambil course di luar negeri,” katanya. Faktor lain, menurutnya, perputaran bisnis yang semakin cepat. “Karena itu, akhirnya siapa yang mempunyai kemampuan lebih, maka dia yang akan naik. Sistem meritokrasi bermain di sini,” kata Lilian sembari menyarankan kalangan muda agar memberi tantangan pada diri sendiri.

Rene Suhardono Canoneo, Carreer Couch sekaligus mitra Amrop Indonesia, juga melihat beberapa faktor yang memungkinkan lebih banyak lagi eksekutif muda menjadi pemimpin. Di antaranya, tuntutan dunia bisnis yang bergerak dinamis. Tuntutan dalam berbisnis pada dasarnya adalah berpacu dengan kecepatan kebutuhan masyarakat. Selain itu, kini pun bermunculan industri baru. Mulai dari bisnis media, kreatif, entertainment, hingga bisnis yang membutuhkan kecepatan eksekusi dan dinamika serta bisnis yang perlu pemikiran alternatif.

“Karena itu, kebutuhan terhadap orang-orang yang masih muda dan fresh itu tinggi. Maka, anak muda yang dulu dianggap masih hijau kini bisa lebih bebas sampai ke puncak. Kini yang ditonjolkan adalah kemampuan. Siapa pun yang kuat, cepat, sigap, kenapa tidak diberi kesempatan?” ujar Rene.

Tak hanya itu pergeseran yang terjadi. “Pada dekade 1980-an, anak muda yang maju ke tingkat manajemen biasanya minimal harus mempunyai background finance dan marketing. Kalau belum melewati itu semua, rasanya dianggap tidak afdol,” ucapnya. Namun, kini pemimpin tidak khusus diharuskan mempunyai pengalaman di kedua bidang tersebut. “Yang penting, dia mampu dan bisa menjalankan tanggung jawab dengan menduduki posisi tersebut,” Rene menegaskan.

Guru pemasaran Hermawan Kartajaya tak sekadar mengakui kondisi bisnis sekarang memang memungkinkan anak muda mengambil posisi puncak. Ia bahkan menyatakan, anak muda sekarang sudah menjadi benchmark-nya orang senior. “Anak muda merupakan main share. Kalau mau merebut main share yang bagus, harus merebut anak muda. Kalau mau menjadi pemimpin pasar, ya harus lewat anak muda,” kata Hermawan seraya menilai fenomena sekarang sebagai hal yang sangat positif.

Meski demikian, ia menyarankan anak muda agar mengembangkan tiga sifat, yakni jiwa entrepreneur, jiwa pemimpin dan jiwa pionir. Selain itu, “Anak muda harus mencari bisnis white space.” Arti white space adalah bisnis-bisnis yang tergolong baru, belum ada modelnya. Jangan hanya masuk di bisnis yang sudah ada dan cuma berorientasi merebut pangsa pasar. “Bagi yang muda, jangan share, tapi market space. Carilah peluang-peluang baru yang belum digarap,” katanya. Sebab itu, Hermawan mengapresiasi munculnya orang-orang muda seperti pendiri usaha Kebab Turki Baba Rafi dan golongan anak muda lainnya karena lebih bermanfaat bagi bangsa. “Karena, mereka menciptakan peluang baru.”

Lilian tak lupa ikut memberi saran: anak muda yang sudah on top jangan melihat dari status aja. “Terkadang pekerjaan seorang manajer jauh lebih baik dari seorang CEO,” ujarnya. Karena itulah, sangat penting untuk mengerti siapa diri kita sendiri. Dengan mengenali kapasitas, kita akan mengetahui seberapa dalam kemampuan kita dan hal apa lagi yang perlu kita pelajari. Philip Purnama, Chief Representative Spinnaker Capital Group for Indonesia, menimpali, dunia bisnis dewasa ini masih terus membutuhkan young on top, tetapi dengan kualifikasi yang komplet. “Mulai dari personal skill, penguasaan teknis bisnis, human relations, penguasaan dan pengendalian emosi, hingga spiritual yang baik.”

Itu artinya, berada di puncak merupakan suatu pencapaian. Akan tetapi, terus mencetak prestasi pada posisi tersebut adalah tantangan tersendiri yang memerlukan kerja ekstra. Sudah siapkah Anda dengan itu semua?

Reportase: Herning Banirestu, Husni Mubarak, Rias Andriati, Sigid A. Nugroho, S. Ruslina dan Tutut W. Handayani

Reportase: Dumaria Manurung

Faktor-faktor yang Memacu Banyaknya Young On Top

* Dinamika bisnis bergerak makin cepat sehingga butuh kecepatan eksekusi dan pengendalian
* Tingkat pendidikan kalangan muda sekarang jauh lebih bagus
* Munculnya banyak profesi yang menuntut kehadiran anak muda sebagai pemimpin dan pelaksana
* Makin banyaknya saluran media untuk pembelajaran sehingga anak muda bisa cepat menambah pengetahuan dan mendengar/melihat pengalamanan orang lain, termasuk jejaring sosial
* Makin banyak pusat pendidikan yang mampu menransfer pengetahuan untuk akselerasi karier
* Terjadi pergeseran paradigma di kalangan pemilik (shareholder) bisnis sehingga kini mereka lebih mencari expert talent ketimbang senior talent atau family connection

Tidak ada komentar:

Posting Komentar