Senin, 08 November 2010

Mempersiapkan Generasi Wirausahawan Baru Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh Global Entrepreneurship Monitor (GEM) di 42 negara pada tahun 2006, termasuk Indonesia, mendapati terbanyak wirausahawan memulai kegiatan usaha mereka di usia 25-34 tahun. Usia ini adalah saat sebagian besar orang lulus dari perguruan tinggi atau bekerja kurang dari 10 tahun.

Hal tersebut menunjukkan bahwa wirausahawan Indonesia saat ini adalah "produk" dunia pendidikan di era tahun 1978-1988, saat sekolah-sekolah sangat dibatasi kreatifitasnya dan lebih banyak mengejar kuantitas isi (materi) daripada inovasi.

Tidaklah heran jika kita dapati generasi wirausahawan Indonesia saat ini sangat miskin inovasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka memulai berwirausaha karena keterpaksaan (necessity), menjadikan usaha mereka sukar berkembang dan bersaing di pasar global. Sebagian besar dari mereka bukanlah wirausahawan sejati.

Oleh karena itu, adalah tugas dunia pendidikan mempersiapkan generasi baru wirausahawan Indonesia. Dunia pendidikan harus berbenah agar generasi muda dipersiapkan sejak dini. Melakukan transformasi agar kelak kita bisa melihat jutaan wirausahawan sejati dilahirkan di bumi pertiwi.

Siapakah Wirausahawan Sejati?

Tulisan ilmiah dan penelitian tentang kewirausahaan telah berkembang dan tersebar dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, psikologi, sosial dan manajemen.

Salah satu subjek penelitian yang populer, selain proses kewirausahaan, adalah tentang profil wirausahawan sejati. Apakah seorang wirusahawan sejati memiliki sesuatu yang khusus yang membedakannya dengan orang biasa?

Ada berbagai jawaban yang dihasilkan. Bahkan, tahun 1998, Michael Morris seorang profesor dari Georgetown University menyebutkan ada 17 karakter khusus wirausahawan yang dikumpulkannya dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dalam bidang kewirausahaan.

Walaupun demikian, didalam keragaman pendapat tersebut, hampir semua ahli menyetujui bahwa terdapat satu ciri yang membedakan seorang wirausahawan. Adalah kemampuannya untuk menemukan dan menciptakan sebuah peluang serta secara aktif mewujudkannya menjadi sesuatu yang bernilai untuk masyarakat.

Bagaimana Cara Mendidiknya ?

Dengan mengacu kepada hasil penelitian tentang ciri khusus wirausahawan sejati, pertanyaan berikutnya adalah, dapatkah mereka dipersiapkan? Jika dapat, bagaimana caranya?

Ada pro dan kontra untuk jawaban pertanyaan tersebut. Namun satu pendapat menarik mengatakan, bahwa jika wirausawan sejati tidak dapat dilatih, maka "profesi" ini akan menjadi satu-satunya di dunia ini yang tidak bisa disentuh dunia pendidikan. Satu hal yang tentu saja sangat absurd.

Bahkan Peter Drucker, seorang guru dibidang manajemen modern pun mengatakan bahwa wirausahawan sejati dapat dilatih. Hanya saja memang perlu perubahan dan terobosan pada metoda belajar yang tradisional serta perlu didukung oleh lingkungan yang entrepreneurial (bercirikan kewirausahaan).

Sampai saat ini, memang belum ada satu program atau kurikulum yang dianggap terbaik dalam mendidik calon wirausahawan. Namun dari berbagai penelitian dan percobaan, terdapat dua hal yang dianggap sebagai faktor kunci untuk melatih calon wirausawahan.

Pertama adalah metoda belajar yang berbasiskan pengalaman (experiental learning). Dengan metoda ini, peserta dibawa kedalam situasi khusus dimana mereka akan secara sekaligus memahami konsep, melatih ketrampilan dan membentuk sikap dan semangat seeorang wirausahawan sejati. Pengalaman yang direncanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan membawa peserta menjadi (to be) seorang wirausahawan sejati.

Kedua adalah metoda dan lingkungan belajar yang melibatkan mentor (mentor based learning). Mentor adalah wirausahawan aktif yang dapat "menularkan" semangat dan pola pikir wirausawahan kepada para peserta. Selain itu, para mentor juga diharapkan membuka akses informasi kepada para calon wirausahawan. Akses yang dapat membantu peserta menemukan dan menciptakan peluang.

Transformasi Dunia Pendidikan

Agar dapat mengaplikasikan metoda dan lingkungan belajar tersebut, maka dunia pendidikan harus melakukan transformasi diri. Tanpa transformasi yang sungguh-sungguh semua metoda tersebut pada akhirnya hanya akan baik diatas kertas namun akan mendapatkan banyak kendala dalam pelaksanaannya.

Transformasi pertama adalah pada sistem dan budaya pengelolaan sekolah. Sistem dan budaya yang bercirikan birokrasi harus dirombak menjadi sistem dan budaya yang entrepreneurial. Sebagai contoh, dengan budaya baru ini, seluruh jajaran sekolah mendapatkan kesempatan dan penghargaan jika mereka melakukan inovasi untuk kemajuan sekolah mereka..

Transformasi kedua adalah pada standar perilaku dan kompetensi staf pengajar. Mereka tidak boleh lagi menjadikan diri mereka sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi lebih menjadi seorang pengajar pembelajar (learning teacher) yang bersama-sama para anak didik menggali dan mengolah subjek materi sehingga menjadi sesuatu yang lebih bernilai.

Transformasi ketiga adalah pada sistem evaluasi (assessment) para anak didik. Evaluasi harus dikembangkan tidak hanya pada tingkatan yang rendah yaitu mengingat dan memahami materi, tetapi harus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi hingga dapat melakukan aplikasi dan kreasi.

Terakhir dan terpenting, transformasi juga harus dilakukan pada peran, peraturan dan kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan dan pemahaman yang baru tentang pentingnya kewirausahaan dimasa mendatang, seharusnya pemerintah mulai dengan menetapkan visi baru dunia pendidikan dan membangun peran, peraturan dan kebijakan yang mengacu kesana.

Tanpa keempat transformasi tersebut secara menyeluruh, maka kita hanya akan menunggu waktu. Dalam dua atau tiga dekade mendatang, bangsa kita hanya akan menjadi penonton dan menjadi korban situasi yang semakin tak berdaya. Salah siapa? (MARGIMAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar