Rabu, 10 November 2010

“Ngundung” Mengapa Tidak

ngundungRupanya kita tak cukup hanya berbekal kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), untuk bisa meraih sukses, baik dalam bisnis maupun karier. Kita juga harus punya kecerdasan adversity (AQ). Sebab, hal itu akan memungkinkan kita lebih mampu mengatasi tantangan dalam bisnis, sekalipun itu perlu banyak energy, dedikasi, dan pengorbanan.
Senapas dengan perkembangan bisnis itu sendiri, ternyata belakangan itu bergulir pendapat yang menyatakan, kesuksesan karier maupun bisnis itu, masih perlu lagi dilengkapi dengan kecerdasan spiritual atau spiritual intelegence (SQ). Mengapa demikian? Oleh karena, di dalam kecerdasan spiritual inilah terkandung banyak aspek, seperti aspek keberanian, optimisme, kreativitas, fleksibel, dan visioner.
Menurut saya, seharusnya memang demikian. Dengan kita juga memiliki kecerdasan spiritual, maka kita cenderung lebih berani “Ngundung” (bahasa Jawa: berjalan dengan keteguhan hati) dalam setiap menggeluti bisnis apapun. Kita juga tidak mudah ragu pada setiap keputusan bisnis yang kita buat. Bahkan, saya berani mengatakan, bahwa jika ingin sebagai pengusaha sekaligus pemimpin, maka seharusnya memang memiliki kecerdasan spiritual yang baik.
Berani “ngundung”, yang saya maksudkan di atas, bisa mengandung pengertian bahwa beraninya itu kareana kita punya kecerdasan spiritual. Sementara, “ngundung”-nya, karena kita memiliki kecerdasan adversity (AQ). Dengan begitu, kita akan lebih berani jalan terus. Tidak  usah terombang-ambing oleh isu negative di kanan kiri. Sehingga, saya berani menyimpulkan, berani ”ngundung” itu merupakan gabungan antara aspek kecerdasan adversity dan kecerdasan spiritual.
Saya percaya, hal itu akan membuat kita semakin bersemangat di dalam berbisnis. Tidak ada kata yang lebih tepat, kecuali: “Saya akan melangkah terus kedepan”. Dengan kita berani “ngundung” akan membuat kita tidak mudah menyerah. Karena kita telah percaya atas diri kita sendiri dan tidak terlalu ambil pusing pendapat orang lain pada bisnis yang kita pilih dan jalani.
Dengan berani “ngundung” akan membuat kita kreatif, dan tidak takut gagal. Bahkan, kita rela mencoba lagi dan lagi dan pantang putus asa. Pokoknya, “ngundung” jalan terus. Dengan begitu, kita akan memiliki daya lenturt. Bahkan, terkadang kita tidak melihat kegagalan, tapi hanya kita anggap sekedar rintangan kecil yang tak mengenakkan kita di dalam meraih sukses bisnis.
Untuk mewujudkan keberanian “ngundung” itu kita sebaiknya melakukan pendekatan spiritual. Saya yakin, di sinilah ada suara hati yang merupakan kebenaran sejati. Sehingga, kalau hati nurani kita benar-benar ingin melakukan sesuatu, maka kita pun harus yakin, bahwa bahwa bisnis yang akan dan sedang kita jalankan saat ini, bukanlah untuk menipu. Bisnis yang kita jalankan, sebenarnya bukanlah hanya untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga punya makna sosial karena pekerjaan bisnis kita begitu banyak menyejahterakan orang lain.
read more ““Ngundung” Mengapa Tidak”

Entrepreneur Kreatif

creativityDunia entrepreneur merupakan dunia tersendiri yang unik. Itu sebabnya, mengapa entrepreneur atau wirausahawan dituntut untuk selalu kreatif setiap waktu. Dengan kreativitasnya, tidak mustahil akan terbukti bahwa ia betul-betul memiliki citra kemandirian yang memukau banyak orang karena mengaguminya, dan selanjutnya akan mengikutinya.
Memang, kita bahwa menjadi entrepreneur kreatif di saat krisis ekonomi merupakan suatu tantangan yang sangat berat. Digambarkan seseorang yang akan terjun menjadi entrepreneur kreatif, ia harus bekerja 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Hal semacam itu harus ia lakukan paling sedikit untuk kurun waktu kurang lebih 2 tahun pertama. Berjuang tanpa henti dengan berbagai tekanan fisik maupun psikis.
Apalagi dalam melakukan bisnis modern, tidak mungkin dapat hidup dan berkembang tanpa kemampuan menciptakan sesuatu yang baru pada setiap harinya. Walaupun itu hanya merupakan gabungan dari berbagai  unsur yang telah ada, kedalam bentuk baru yang berbeda. Dari kreatifitas akan muncul barang, jasa atau ide baru sebagai inovasi baru, untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Dan dari kreatifitas itu pula akan muncul cara-cara baru, mekanisme kerja atau operasi kerja untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas.
Pada dasarnya, kita semua kratif. Tentu saja, dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Saya sependapat dengan Raudsepp, seorang peneliti dari Princeton Research Inc, yang mengatakan, bahwa kemampuan kreatif itu terdistribusi hampir secara universal kepada seluruh umat di muka bumi ini. Kreatifitas bak sebuah sumber mata air, yang tentunya jangan sampai kita biarkan sumber mata air itu mengering. Kita harus tetap belajar dan menggali terus kreatifitas tersebut.
Oleh karena itu, jika anda teramasuk dalam golongan orang yang selalu ingin tahu, kemudian dapat melihat suatu peristiwa dan pengalaman untuk dijadikan sebuah peluang, dimana orang lain tidak melihatnya, kemudian memiliki keberanian berfikir kreatif dan inivatif, maka saya rasa lebih baik bersiaplah Anda untuk menjadi entrepreneur. Itu sebabnya mengapa ada yang menyebut wira usahawan itu sama dengan orang aneh. Namun, kita jangan berprasangka buruk dengan perkataan tersebut. Sebab, di balik kata itu tersembunyi kekuatan yang dimiliki seorang entrepreneur dari kebanyakan orang.
Banyak contoh yang dpat memberikan gambaran kepada kita, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dilakukan wirausahawan. Keluarkan semua ide atau gagasan Anda. Anda tidak perlu takut diremehkan atau dihina orang lain. “Ide gila” yang akan Anda sampaikan itu boleh jadi suatu waktu akan mengundang kekaguman banyak orang. Orang lain akan gigit jari ketika melihat keberhasilan Anda, dan mungkin saja mereka akan bergumam: “Mengapa hal seperti itu dulunya tidak terfikirkan oleh saya?”
Kalau Anda berani tampil beda, itu berarti, Anda akan memiliki jiwa entrepreneur. Saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa keberhasilan entrepreneur itu diibaratkan seperti kesabaran dan ketenangan seorang aktor akrobatik dalam meniti tambang tipis hingga sampai ke tujuan, ia bukannya menghabiskan waktu dengan perasaan khawatir, tapi konsentrasinya tertuju pada tujuannya. Dan, yang lebih penting bagi kita adalah sebaliknya kita jangan malu akan kesalahan yang kita buat. Seorang entrepreneur memang tidak menyukai kesalahan, tetapi ia tetap akan menerimanya sepanjang hal itu dapat memberikan pelajaran berharga.
Ia harus mampu meloloskan diri dari situasi-situasi yang hampir tidak mungkun diatasi. Sebab dalam era global sekarang ini, kegiatan usaha yang kita jalankan hampir 90% justru tidak sesuai rencana. Oleh karena itu, kita harus luwes dengan rencana yang telah kita buat. Bisa berpindah dari satu rencana ke rencana lainnya. Dan, saya berpendapat bahwa seorang entrepreneur juga tidak boleh gampang berputus asa. Ia harus yakin dengan kreatifitasnya, pasti ada jalan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
read more “Entrepreneur Kreatif”

Bersikap sebagai Entrepreneur

bandulBagaimana sebaiknya sikap yang diambil seorang entrepreneur, apabila kegiatan bisnisnya terkena dampak krisis ekonomi?
Sebagai pimpinan perusahaan, dalam menghadapi masalah ini, saya kira kita harus menjadi entrepreneur sejati atau seorang entrepreneur yang cerdas emosinya. Entrepreneur yang saya maksud di sini adalah entrepreneur yang tidak mudah panik. Sebab, kalau panik, justru akan mengakibatkan sesuatu hal yang lebih parah lagi. Misalnya, kalau pimpinan panik, maka karyawannya pun ikut panik. Itu ibarat sebuah bandul, jika titik pusat bandul itu bergerak, akibat bola yang berada di bawahnya akan ikut bergerak lebih lebar.
Berfikir optimis seperti seorang akrobatik yang tengah meniti tambang itulah barangkali sikap yang tepat bagi seorang entrepreneur, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi. Saya kira, kita pun cerdik sebagaimana seorang pesulap yang melepaskan diri dari ikatan.
Dalam kaitan ini, saya juga sependapat dengan entrepreneur dari Negara Paman Sam, Don L. Gevirtis, bahwa entrepreneur itu harus secara terus menerus melihat peluang yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, tidak pernah merasa puas, dan bisa mengeksploitasi sekecil apapun perubahan yang ada.
Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri lebih memandang krisis ekonomi itu bukan sebagai krisis. Tapi sebaliknya, saya pandang sebagai siklus? Mengapa? Ibarat sebuah roda, sekali waktu tiba di bawah, dan suatu saat akan kembali ke atas. Saya yakin hal itu.
Saya sendiri sangat merasakan, bahwa entrepreneur itu ibarat menjadi kapten kesebelasan dalam pertandingan sepak bola. Saya harus menjadi inspirator tim sekaligus menjadi playmaker handal.
Saya harus tahu, kapan harus menjemput bola, dan kapan harus melepas bola. Bahkan, saya pun harus tahu bagaimana cara memanfaatkan bola liar atau bola muntah di depan gawang. Oleh karena itu, saya menyadari, bahwa saya pun harus selalu memiliki winning commitment atau komitment untuk menang, atau komitment untuk berhasil secara tepat dan memadai.
Dengan cara ini, saya akan tetap optimis dalam menerjuni bisnis. Saya tidak boleh mudah terkejut oleh kesulitan. Bahkan dengan adanya kesulitan itu, seharusnya saya semakin optimis untuk mencari pemecahannya, dan semakin memupuk sifat ketabahan. Artinya, dengan memiliki sifat tabah, kita akan tetap siap menghadapi segala kemungkinannya, terutama manakala orang lain mudah putus asa saat menghadapi krisis.
Memang saya akui, dalam kondisi seperti itu, ada kelompok yang pesimis, loyo, atau tidak bergairah dan bersikap menyerah pada nasib. Selain itu, ada juga kelompok yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam kondisi krisis, saya yakin, bahwa saya sendiri maupun para entrepreneur yang lain, masih tetap merasa yakin ada prospek bisnisnya di masa depan. Dengan kata lain, entrepreneur memang dituntut tetap tangguh yang didukung oleh spirit, wawasan, pengetahuan, dan keterampilan manajerial yang handal, serta mampu menyesuaikan dengan perubahan yang sangat cepat.
Selain itu juga, seorang entrepreneur harus bisa lebih jeli memanfaatkan situasi. Bagaimana dengan adanya krisis ekonomi ini bisa dimanfaatkan untuk selalu mencari peluang.
Oleh karena itu, saya yakin, bahwa bermacam-macam peluang muncul pada saat kita sedang krisis. Saat dalam kondisi normal dan baik, itu memang bagus, akan tetapi pada saat dilanda krisis kalau dapat kita harus lebih bagus lagi. Kita semua harus meyakini hal itu.
read more “Bersikap sebagai Entrepreneur”

Motivasi di Tengah Kekacauan

tantangan-100-dollar-per-hari-dari-anne-ahira1Perubahan serba cepat dan kacau sungguh kita rasakan sekarang ini, dan kita melihatnya, bahwa perubahan tersebut hampir terjadi dari segala aspek. Sebagai manajer maupun entrepreneur, kita akhirnya tidak hanya sekedar pandai menendang bola saja, yang bisa diposisikan seperti apapun sekehendak kita dengan begitu mudah. Namun juga kita harus bisa seperti menendang kucing. Sedang kucing itu dapat meloncat dan lari. Sehingga, tidak mengherankan kalau lantas ilmu manajemen yang masih aktual pun tidak mampu lagi mengatasi kekacauan tersebut.
Kekecewaan itu berarti banyak ketidakpastian. Hari ini tidak ada hubunganya dengan hari kemarin. Hari depan menjadi tidak pasti, tidak bisa di ramalkan. Kondisi semacam ini menjadikan kita hidup dalam era lonjakan kurva, tidak linear dan tidak karuan. Sehingga, pengetahuan dan juga pengalaman akhirnya tidak dapat menjamin keberhasilan bisnis kita di masa depan.
Kalau sudah begitu keadaannya, saya berani mengatakan, bahwa kita tidak perlu lagi menghafal ilmu-ilmu manajemen yang hanya sekadar teroritis. Kita justru harus lebih kreatif bertanya. Karena bertanya itu tidak akan pernah usang. Sementara, yang namanya sebuah jawaban pengetahuan itu mudah ketinggalan zaman. Begitu juga pengalaman. Keadaan yang serba cepat kacau itu akhirnya membuat pengalaman itu bukan lagi menjadi guru yang baik. Padahal, selama ini kita lebih percaya pada mitos, bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini, bagaimana kalau kita bebas saja dari ilmu pengetahun dan pengalaman. Mungkin saja, ide saya ini anda anggap aneh. Tapi itulah yang namanya entrepreneur identik dengan orang aneh.
Tom peter, mengatakan bahwa perubahan serba cepat dan kacau itu pertanda zaman edan. Sehingga di era global sekarang ini, suka atau tidak suka, kita harus berani berakrab-akraban dengan kekacauan. Apalagi kita juga sedang menuju milenium ketiga. Sebab tidak mustahil pendekatan yang tidak sistematis atau tidak akademis, justru yang nantinya bisa menyelesaikan kekacauan.
Contohnya, Lembah Silikon di Amerika Serikat. Dahulu kawasan itu berkembang pesat dan sangat membanggakan banyak orang. Hal itu karena, Lembah Silikon telah menjadi besi sembrani yang menarik begitu banyak perusahaan yang berkecimpung dalam bisnis komputer dan elektronik. Tapi sekarang terjadi adalah sebaliknya. Banyak perusahaan di sana menjadi bangkrut. Lembah ini berubah menjadi kuburan masal perusahaan besar. Kejadian tragis ini ternyata juga dialami oleh Negara kita. Dulu, banyak pengusaha dan bank yang sangat berjaya, kini pada kelimpungan dan akhirnya bangkrut.
Sementara itu, dengan semakin banyak belajar ilmu manajemen, kerap kali membuat kita justru semakin bertindak hati-hati dalam segala urusan bisnis. Kita tidak punya keberanian untuk bertindak. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah ketakutan dan ketakutan. Kalau sudah begitu, mana mungkin kita punya semangat kerja yang tinggi dan kompetitif.
Pengalaman bisnis pun semakin sulit diterapkan, bahkan kerap kali tidak jalan lagi. Perubahan serba cepat dan kacau itu membuat kita sadar, bahwa saat sekarang ini bukan lagi kita hanya bermodalkan pengetahuan yang sarat dengan teori semata.
Tetapi, saat ini justru dibutuhkan orang yang buta teori atau jauh dari mental sekolahan. Nyatanya, orang yang jauh dari mental sekolahan itulah yang justru bisa meraih sukses. Hal itu karena, mereka tidak hanya semata-mata mengandalkan pada teori, namun mereka lebih mementingkan ketangguhan, keuletan, dan tahan banting. Sehingga, semua perubahan yang serba kacau dan cepat justru dianggapnya sebagai tantangan. Tantangan itulah yang dapat membangkitkan motivasinya.
read more “Motivasi di Tengah Kekacauan”

Optimisme Entrepreneur

tangga-kepemimpinan1Dalam situasi ekonomi sesulit apa pun, saya rasa seorang entrepreneur atau wirausahawan harus tetap optimis dalam menggeluti bisnisnya. Sebab, sesungguhnya keberanian seseorang entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya adalah terletak pada optimisme. Dengan tetap optimis, kita akan tetap termotivasi dan cemerlang dalam memanfaatkan setiap peluang bisnis.
Bukan sebaliknya, pesimis. Sebab, sikap pesimis itu akan membuat semangat berwirausaha kita menjadi runtuh. Hal semacam itu jelas kalau bakal merugikan kita. Saya rasa wajar manakala dalam menggeluti bisnis kita, ada saja masalah yang timbul pada setiap harinya. Tinggal bagaimana sikap kita masing-masing.
Bila kita menghadapinya tidak dengan pikiran yang segar, dengan tidak optimis, maka tentu saja kita akan dihadapkan pada situasi pikiran yang rumit, terlalu tegang dan akhirnya bisa stress sendiri. Bahkan, idea atau gagasan kita yang cemerlang tiba-tiba berhenti, dan pada akhirnya merembet pada sikap kurang percaya diri. Sehingga dalam setiap kita melakukan negosiasi bisnis akan selalu grogi.
Tetapi coba bandingkan, bila kita tetap punya optimisme yang tinggi, meski diterpa “angin keras” apa pun kita tetap optimis, baik dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari, maka kita akan menjadi seorang yang selalu optimis dalam mengarungi masa depan. Kita pun menjadi tidak mudah terkejut oleh berbagai kesulitan apa pun. Bahkan kita akan tertantang dan selalu berusaha mencari jalan pemecahannya yang terbaik.
Dengan pemikiran yang optimis itu, kita juga akan lebih bisa menggunakan imajinasi untuk meraih kesuksesan atau keberhasilan. Dengan demikian, optimisme akan meningkatkan kekuatan atau kemampuan kita dalam berusaha dan akan menghentikan alur pemikiran yang negative. Namun kalau kita cenderung suka berfikir negative, maka pasti akan memenuhi banyak kesukaran. Justru dengan optimisme, kita selalu akan terdorong untuk berfikir positif. Saya rasa berfikir positif adalah suatu cara terbaik untuk mempromosikan percaya diri, dan menghimpun energi positif. Sebab fikiran kita merupakan sumber-sumber idea tau gagasan yang paling berharga jika kita mau berfikir secara positif. Itu sebabnya, mengapa sikap mental positif (positive mental attitude) seorang entrepreneur itu menjadi penting.
read more “Optimisme Entrepreneur”

Saya Dicap “Orang Gila”

buku-muriDalam acara pemberian penghargaan terhadap Lembaga Bimbingan Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), saya benar-benar “dianggap” oleh rekan saya yang juga direktur MURI, Jaya Suprana.
Dalam acara yang diselenggarakan pada hari Jum’at 2 Juli 1999 yang lalu, saya di cap sebagai “orang gila” oleh Jaya Suprana. “Betapa tidak”, kata Pak Jaya, “Usaha yang dibuka pa Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak Purdi memang demikian “gila” berani membuka usaha yang saya nilai sebagai industry bimbingan belajar terbesar di Indonesia,” tutur pakar kelirumologi tersebut. Lebih lanjut dikatakannya “Karena itulah, saya rela menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini kepada Pak Purdi. Padahal, saya sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie. Tapi karena ada acara ini, acara di Bina Graha saya batalkan,” demikian kelakar Bos Jamu Jago itu.
Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan , saya juga dibilang “gila”, karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Dan memang, pada usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu. Primagama telah berkembang lagi, dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang tersebar di 16 provinsi.
“saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil resiko adalah pekerjaan biasa,” demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya.
Entrepreneur lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto saat ini pun berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian. Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna. Tapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang orang-orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high achiever) dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena “hujatan”. Padahal belum tentu memiliki kepandaian dan keterampilan yang memadai untuk memulai usahanya.
Entrepreneur itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya. Berani meraih peluang. Tidak pernah takut.
Menurut Marianne Williamson, ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan, bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu menghitung feasibility-nya dan tidak memulai usahanya. Sementara, peluang yang sama telah direbut orang lain.
Saya tidak menyarankan untuk tidak menghitungrencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retail-nya dulu baru berfikir kemudian. Ternyata betul juga, begitu retailnya dibuka, banyak orang yang menitipkan barang (konsinyasi), dimana hal tersebut tak pernah difikirkan. Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan modal. Dan banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Keberanian seorang entrepreneur untuk berwirausaha itu sama dengan keberanian menghadapi resiko. Kalau dengan negative thinking risiko akan sama dengan bahaya. Tapi kalau positive thinking, maka resiko itu sama dengan rezeki. Risiko yang didapat pun kecil. Contohnya, tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring, maka penghasilan pun kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar. Sehingga, seberapa besar rezeki yang diinginkan, sama dengan seberapa besar Anda mengambil resiko.
read more “Saya Dicap “Orang Gila””

Berpikir Kemungkinan Sukses

Chess04Saya sependapat dengan Gerry Robert, penulis buku “The Millionaire Mindset”, bahwa kita sebaiknya setiap saat untuk selalu berfikir kemunghkinan sukses atau successibility thinking. Jadi, kita tidak hanya cukup berfikiran positif aja seperti dikatakan Norman Vincent Peale. Dan, saya kira kita pun tidak hanya cukup sekedar possibility thinking seperti yang disarankan Robert Schuller. Mengapa demikian? Sebab, dengan selalu berfikir kemungkinan sukses kita akan lebih bersikap mawas diri. Tindakan-tindakan yang kita bangun cenderung penuh dengan kepercayaan dan keyakinan diri. Bahkan, kita akan lebih memiliki perspektif jauh kedepan. Tegasnya, berfikir kemungkinan sukses itu sama halnya dengan sukses (success) ditambah kemungkinan (possibility).
Bill Gates (44 tahun) tanpa dia terbiasa succesibility thinking. Tentu tidak mungkin berani mendirikan perusahaan Microsoft, padahal saat itu dia masih berusia 19 tahun.
Di perusahaan computer itu dirinya bukan hanya sebagai direktur, atau manajer, tetapi lebih dari itu, sebagai Presiden Direktur. Jabatan itu dipegangnya selama 25 tahun. Dan memang, pada akhirnya, ia membuktikan bahwa bisnisnya mampu meraih sukses yang luar biasa, dan banyak dikagumi orang. Kini, namanya tercatat orang terkaya di dunia.
Dalam kaitan inilah, mungkin saja Anda akan bertanya. Sesungguhnya, seseorang itu, apakah untuk mendirikan perusahaan juga harus succesibility thinking? Ataukah kita harus memiliki rasa percaya diri dulu atau sebaliknya? Kalau saya pribadi berpendapat , seseorang itu harus berpikir kemungkinan sukses dulu atau succesbility thinking, untuk mendirikan perusahaan, barulah kita memiliki rasa percaya diri.
Katakanlah, jika ada peluang bisnis, dengan kita berpikir kemungkinan sukses dulu, akan membuat kita memiliki keberanian  membuat perusahaan berupa CV, PT, atau Lembaga. Kita tinggal datang ke notaris, kita bisa mengangkat diri kita menjadi pada perusahaan yang kita dirikan. Itu sama saja kita sudah berpikir kemungkinan sukses.
Di dalam melakukan kegiatan bisnis, kita dapat mendeklarasikan berpikir kemungkinan sukses setiap hari, dengan sesuatu yang diyakini, yang kita anggap dapat mengubah kita. Misalnya hari ini, kita mendeklarasikan bahwa kata favorit saya adalah ”mungkin”.
Saya percaya, pada apa yang mungkin. Saya melihat kemungkinan-kemungkinan di mana-mana. Saya memfokuskan pada apa yang benar, terang, dan indah. Saya melihat yang terbaik dalam setiap situasi, dan dalam setiap orang.
Dan, pada hari berikutnya, kita bisa saja mendeklarasikan, bahwa “saya orang yang bersemangat”. Saya percaya, saya sukses karena saya ditakdirkan untuk sukses. Saya menolak hal-hal yang tidak baik. Saya bersemangat tentang diri saya dan potensi saya. Deklarasi semacam ini setiap harinya bisa berganti-ganti sesuai dengan yang kita kehendaki.
Selain kita menggunakan model pendekatan deklarasi berpikir kemungkinan sukses di dalam bisnis setiap hari, kita juga dapat melakukan model pendekatan religius, misalnya dengan melakukan dzikir dalam hati, yang juga bisa kita lakukan kapan saja, dan dimana saja. Saya yakin, hal itu semua akan menjadikan kita lebih mudah meraih sukses. Bahkan, bisnis yang kita jalankan juga akan lebih berpeluang berkembang.
Memang, semua itu membutuhkan kemauan keras. Maka, bila kita berkeinginan menjadikan diri kita untuk selalu berfikir kemungkinan sukses, bisa saja kita memprogram ulang diri kita sendiri, dengan jalan kita menyediakan waktu untuk selalu berfikir kemungkinan sukses. Mau dicoba?
read more “Berpikir Kemungkinan Sukses”

Mengembangkan Entre-Q

kemuliaan-berfikirBanyak orang berpendapat bahwa, sudah seharusnya sistem pendidikan kita direvisi kembali. Sebab, selama ini sistem tersebut cenderung mengajarkan kita untuk takut berbuat sesuatu. Kita jadi takut berbuat salah. Sebagai contoh, ketika kita sekolah dulu, selalu kita diharuskan oleh guru kita untuk mengerjakan segala sesuatu tidak boleh salah. Padahal, semakin banyak kita membuat kesalahan, maka kita akan banyak belajar dari kesalahan itu.
Begitu juga saat sekolah dulu kita selalu diharuskan menghafal pelajaran dan menghitung angka, dan bukan bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana praktik memimpin, dan bagaimana praktik bekerjasama. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan kita di sekolah selama ini sebetulnya ‘memiskinkan kecerdasan entrepreneur’ kita sendiri.
Apalagi bagi kita yang ingin menggeluti dunia bisnis, maka akan selalu dihantui perasaan takut untuk berbuat sesuatu dalam bisnis. Padahal di dalam kita menjalankan bisnis, tak ada slahnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat. Artinya, kita harus berani berbuat sesuatu. Kita jangan takut memulai atau mengembangkan bisnis kita. Itulah sebenarnya manfaat kalau kita benar-benar memiliki kecerdasan entrepreneur, saya singkat Entre-Q.
Jika kita memiliki Entre-Q biasanya cenderung memiliki prilaku atau kepribadian yang aneh-aneh. Itu menurut ukuran orang pada umumnya. Sebab yang membedakan seseorang entrepreneur atau bukan antara lain terletak pada Entre-Q. Misalnya dia akan menjadi seorang entrepreneur yang cenderung memiliki keberanian, dan itu sangat ‘menonjol’ dibandingkan orang pada umumnya.
Saya juga melihat, bahwa sebagian besar entrepreneur yang memiliki Entre-Q mempunyai perinsip bahwa, setiap menghadapi tantangan bisnis dan kehidupan selalu dengan mengedepankan semangat dan spiritualnya. Ituisi biasanya dia bangun sendiri dari pemikiran-pemikirannya, yang itu bisa dia pelajari dari orang lain, atau dia temukan sendiri. Entrepreneur yang memiliki Entre-Q biasanya juga selalu komit atau konsisten dengan apa yang dia lakukan. Dan, dia akan selalu punya keinginan untuk terus belajar dari pengalaman bisnisnya baik pahit maupun manis.
Sehingga tak mengherankan, kalau sosok pengusaha seperti ini biasanya punya kelebihan berfikir yang linear atau tidak teratur. Dia juga cenderung tak hanya cerdas dalam emosi atau keberaniannya, tetapi dia juga cerdas dalam kreativitasnya, intuisinya dan spiritualnya.
Apakah Entre-Q itu bisa kita kembangkan? Saya kira bisa saja. Caranya, dengan memperbanyak pengalaman secara langsung. Maksud saya, kita harus banyak praktik, banyak mencoba. Begitu juga halnya dalam bisnis. Kalau Robert Kiyosaki dalam bukunya “Rich Dad’s Guide to Investing”, lebih suka menyebut bahwa kita tidak hanya cukup memiliki School Smart, tetapi kita juga harus memiliki Street Smart. Menurut saya, “School Smart itu penting, Academic Smart juga penting. Tapi untuk mengembangkan jiwa entrepreneur, Street Smart dan Entre-Q lebih penting.”
read more “Mengembangkan Entre-Q”

Selasa, 09 November 2010

Memanfaatkan Otak Orang Lain

Mensyukuri apa yang kita peroleh dari hasil bisnis, walau tak sebesar yang kita harapkan semula, saya kira itu penting. Setidaknya, ini merupakan langkah kita pertama menjadi entrepreneur yang bijak. Namun, tentunya kita tetap memiliki kemauan untuk mengembangkan bisnis kita seoptimal mungkin. Sehingga, hasil yang kita peroleh juga akan bisa lebih maksimal, meskipun persaingan dunia bisnis makin kompleks.
Untuk mewujudkannya, kita mungkin tak hanya cukup memanfaatkan otak kita sendiri, tapi ada baiknya juga memanfaatkan otak orang lain. Sebab, kita harus menyadari benar, bahwa setelah bisnis yang kita rasakan berkembang cukup pesat, dan kita menjadi orang nomor satu di perusahaan yang kita dirikan, tentu saja tak bisa semua kegiatan bisnis bisa kita jalankan dengan otak kita sendiri.
Maka, sudah sewajarnya kalau kita memanfaatkan otak orang lain, yang oleh William E. Heinecke, penulis buku “The Entrepreneur 21 Golden Rules for the Global Bussiness Manager”, disebut “work with other People’s brain”. Menurut, entrepreneur terkemuka yang sukses mengembangkan bisnis Pizza Hut tersebut, seorang entrepreneur yang bersedia bekerja dengan memanfaatkan otak orang lain, sesungguhnya adalah entrepreneur sejati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa memanfaatkan otak orang lain dalam bisnis, khususnya di era milenium ketiga ini, merupakan hal yang sangat penting. Acapkali itu lebih baik ketimbang harus semuanya kita jalankan sendiri. Katakanlah, kita akan mudah menangkap peluang bisnis dengan bantuan otak orang lain. Akibatnya, kita bisa jadi pemurung, kebanyakan kerja, dan sulit bagi kita bisa menikmati penghidupan yang layak sebagai seorang entrepreneur.
Saya yakin, jika kita berhasil memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sebenarnya juga sebagai upaya positif kita menghindari sikap keras kepala kita sendiri. Dan, itu akan lebih mudah membuat kita mau mendengarkan dengan hati yang terbuka apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya, sikap ini pulalah yang akan menciptakan hubungan kerja harmonis. Maka kita sebagai entrepreneur yang memiliki perusahaan, alangkah bijaknya kalau kita juga jangan mudah “alergi” dengan apa yang dikatakan orang lain.
Selain itu, jika kita bisa memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sesungguhnya juga kemajuan yang positif bagi bisnis kita sendiri. Bahwa, kita pun ternyata mampu mengangkat diri kita sebagai pemimpin perusahaan yang bener-benar memiliki kemampuan professional dan kecerdasan emosional. Niscaya, bisnis kita akan tetap eksis dan lebih berkembang pesat disaat ini maupun di masa mendatang.
Dan, perlu diingat bahwa memanfaatkan otak orang lain, itu bukan merupakan kelemahan kita sebagai entrepreneur. Tapi sebaliknya, hal itu justru menunjukan, bahwa kita benar-benar telah memiliki intelektualitas, kecerdasan emosional, kecintaan pada diri sendiri, maupun perusahaan.
read more “Memanfaatkan Otak Orang Lain”

Boss Bukan Pemimpin

Panggilan boss itu memang sudah biasa di dalam dunia usaha walaupun mungkin maksudnya untuk menghormati. Namun, menurut saya, sebetulnya panggilan boss itu lebih terkesan ada maunya, ada pamrihnya. Saya sendiri tidak bangga dengan panggilan itu. Risih rasanya. Saya tidak ingin jadi boss. Saya ingin menjadi entrepreneur leader, seorang entrepreneur yang juga seorang pemimpin.
Dalam hal ini, John C, Maxwell, yang menyoroti perbedaan antara boss dan pemimpin mengatakan, seorang pemimpin lebih punya itikad baik, lebih bijak, baik dalam sikap dan tingkah lakunya. Dia lebih bisa melatih atau mendidik pengikutnya. Katakanlah, seorang karyawan yang baru masuk menjadi cepat berkembang, karena pemimpin mampu menimbulkan rasa antusiasme pada karyawannya.
Tetapi lain halnya, dengan seorang boss. Boss lebih mirip dengan juragan, seorang boss itu lebih banyak maunya sendiri. Egoismenya tinggi, dan sikap atau tingkah lakunya lebih terkesan menggiring pekerjaannya dan kerap menimbulkan rasa takut pada anak buahnya. Karena sikap itu menyagkut pola rasa dan pola pikir, sehingga pengaruh sekap boss semacam itu, menurut seorang pakar kepribadian, Dale E. Golloway, akan membuat anak buahnya menjadi gelisah, menderita, melukai hati, dan bahkan bisa mendatangkan musuh.
Seorang boss juga lebih tergantung pada  wewenang, terutama wewenang struktural. Kalau tidak lagi memiliki wewenang, maka pengaruhnya tidak ada. Bahkan orang lain tidak lagi respek pada dia, manakala sudah tidak menjadi boss lagi. Itulah memang konsekuensinya kalau seseorang lebih menggunakan wewenang struktural. Jadi orang lebih terpengaruh pada boss yang punya wewenang tersebut, dan bukan pada hubungan moral seperti yang lebih baik dilakukan seorang pemimpin.
Dan, saya kerap melihat, bahwa seorang boss cenderung suka menyalahkan anak buahnya, karena dia memang lebih suka menetapkan kesalahan tanpa menunjukkan jalan keluar, dan boss itu tahu bagaimana itu dilakukan. Tapi lain halnya dengan seorang pemimpin, dia lebih tahu bagaimana memperbaiki kemacetan yang dilakukan bawahannya atau pengikutnya dan bisa menunjukkan cara mengatasinya.
Boss juga lebih suka mengatakan “Aku”, sementara pemimpin lebih suka mengatakan “Kita”. Perbedaannya tak hanya itu. Boss juga lebih suka mengatakan “Jalan”! jadi lebih bersikap otoriter. Sangat berbeda dengan cara pemimipin dalam menggerakkan karyawannya lebih bersikap egaliter, maka tak mengherankan lebih cenderung mengatakan “Mari kita jalan!”.
Oleh karena itulah, dalam mengembangkan bisnis kita dan dalam menghadapi persaingan bisnis ysng semakin keras saat sekarang ini, saya kira memang dibutuhkan entrepreneur – entrepreneur leader. Keberhasilan bisnis kita akan lebih sukses karena tindakan dan keputusan strategis yang diambil oleh  entrepreneur leader.

Sebab, dalam kepemimpinannya mereka lebih menekankan pada hubungan manusiawi, sehingga orang – orang di bawahnya termotivasi dan lebih mampu menggunakan pemikiran dan wawasan kreatifnya. Sebaliknya, boss tidak mampu menumbuhkan sikap semacam itu. Maka, jadilah entrepreneur leader.
read more “Boss Bukan Pemimpin”

Pemimpin Bukan Manajer

Melakukan hal-hal yang benar (ding the right things), berani menghadapi risiko dan memiliki untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinil, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.
Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, pemimpin bukan hanya mampu manggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak popular sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi selalu yang terdepan.
Setelah diteliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manajer yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manajer seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis yang kita jalankan akan sulit maju.
Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manajer hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manajer. Pemimpin selalu berfikir loncat-loncat, dan jangkauannya sering kali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan manajer. Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manajer baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manajer itu tiruan, sementara pemimpin itu adalah orisinal.
Itu mengingat, ide tau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnis yang diajarkannya itu nanti benar atau salah, urusan belakangan. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.
Kita bisa juga lihat, bahwa manajer dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedang pimpinan lebih suka bertanya apa dan mengapa. Selain itu, pimpinan lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara manager adalah “tentara baik” yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.
Manajer dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sososk yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahannya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan pada sistem dan struktur.
Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manajer, sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, enerjik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke masa depan.
read more “Pemimpin Bukan Manajer”

“Dan”

Siapa yang tak kenal dengan kelompok music anak muda dari Yogya, Sheila on 7 ? Tentu, anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul “DAN”. Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keeping. Kita tentu bangga dengan kesuksesan mereka.
Judul lagu “Dan” itu cukup menarik buat saya. Namun, “Dan” dalam tulisan ini artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu “Dan”, namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entrepreneur tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerjasama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita.
Mungkin Anda bertanya, apa benar bersinergi itu menguntungkan kita ? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukan bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang. Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu. Memang, tak selamanya bersinergi itu negative. Tapi sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi brilian, selama sinergi yang saya maksud itu positif.
Setelah diteliti, ternyata memang sinergi itu bisa negative dan bisa positif. Untuk kita menjadi yang terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukan, bahwa kita akan memiliki kekuatan, potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh ke depan penuh kepercayaan diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.
Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang tidak rational, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerjasama yang sangat tinggi. Saya yakin hal itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negative, maka bisnis apapun yang kita jalankan tidak akan berhasil.
Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tapi setelah lewat proses panjang, ternyata sulit terealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena itu sinerginya negative? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis computer. Dia mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli computer.
Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama belum pecaya bahwa sinergi kami negative. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat dia bersuamikan Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing-masing, ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi tak ada sinergi positif.
Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa positif, bisa juga negative. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan tidak mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.
read more ““Dan””

Egaliter itu Perlu

Teori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, didalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek humanis dan harmonis dalam komunikasi antara level struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.
Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali oleh pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri teladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin faham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan intrapersonal. Dimana, hubungan antara pimpinan dengan staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.
Menurut saya, dampak positif lain dalam hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina hubungan dengan orang lain, dan mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyelaraskan diri (harmonizing) dengan orang lain.
Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan mudah tercapai.
Dengan begitu, saya rasa hubungan antara pemimpin dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat sedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communication) antara pimpinan dengan staff akan lebih mudah tercipta.
Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita sebagai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam itu.
Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.
Hubungan egaliter itu, saya rasa perlu karena hubungan ini akan lebih mengkondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain. Kepercayaan diri kita maupun staf juga akan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa kepercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan kreatif.
Namun, kultur ini tidak ada kolerasinya bahwa yang pantas menerapkannya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah sesuatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar atau professional.
Memang entrepreneur itu harus didampingi professional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berfikirnya seringkali meloncat-loncat. Sementara, seorang professional pemikirannya cenderung yang lurus-lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man show. Kualitas manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan professional harus memiliki hubungan yang harmonis.
Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki milenium ketiga yang kemungkinan besar dunia bisnis kita cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita  berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dengan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tisak kondusif atau tidak enjoy. Kreatifitas juga bisa mandeg dan prestsi kerjapun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.
read more “Egaliter itu Perlu”

Jadi Pemimpin atau Bawahan

Jika setiap saat kita selalu menayakan, “Apa hak-hak saya ?” itu artinya kita termasuk golongan bawahan. Sedang, jika kita lebih suka bertanya “Apa tanggung jawab saya ?” itu berarti termasuk golongan pimpinan. Wajar saja, mestinya memang demikian. Selain itu, seorang bawahan biasanya orang yang bekerja lebih terdorong oleh emosinya. Sementara, seorang pemimpin, bekerja, atau berbisnis lebih karena terdorong oleh karakternya.
Saya juga melihat, jika seorang bawahan merasa senang, biasanya ia melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan benar. Itu lain dengan pimpinan. Dia akan selalu berusaha melakukan segala pekerjaannya dengan benar, kemudian dia akan merasa senang dengan prestasi kerjanya itu. Pendeknya, bawahan itu bekerja atau melaksanakan tugas karena terdorong oleh kesenangan, dan bukan terdorong oleh komitmen seperti biasa dilakukan oleh seorang pemimpin.
Perbedaan lain yang cukup menonjol antara keduanya, menurut pakar leadership, John C Maxwell, yaitu seorang bawahan itu sukanya selalu menunggu momentum, barulah dia mau bergerak. Sikapnya lebih mengendalikan tindakan, dan berhenti ketika masalah timbul. Sementara, kalau kita sebagai pemimpin maka kita akan lebih cenderung menciptakan momentum. Sedang, tindakannya lebih mengendalikan sikapnya seorang pemimpin dan seorang pemimpin justru akan meneruskan usahanya ketika masalah timbul.
Saya juga melihat, memang benar seorang bawahan itu jika membuat keputusan apapun selalu berdasarkan popularitas. Berbeda dengan pemimpin yang setiap membuat keputusan apapun, termasuk dalam bisnisnya, adalah lebih berdasarkan ada perinsip dan bukan popularitas. Sehingga, tidak mengherankan kalau seorang pemimpin itu tidak suka bersikap murung dalam menggeluti bisnisnya. Sebaliknya, dia akan selalu mantap menekuni bisnisnya.
Karena itu, saya berpendapat, sekarang ini kita lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil daripada harus menjadi ikan kecil di kolam besar. Artinya, kita lebih baik menjadi pemimpin, walau bisnis kita kecil dan anak buah sedikit, daripada kita harus ikut orang lain sekalipun bisnisnya sudah besar. Memang, menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Tapi yakin saja, sebab kita masing-masing memiliki kapasitas kepemimpinan.
Saya yakin, jika bekerja pada perusahaan besar sebagai bawahan, tentu kita tidak bisa berbuat banyak, atau tidak bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan. Naiknya karier kita pun jelas membutuh waktu yang lama. Tapi lain halnya, kalau kita bekerja pada perusahaan yang masih kecil, maka peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar. Sehingga karier kita pun akan cepat berkembang pula. Kita jadi punya andil untuk mengembangkan usaha menjadi besar, dan akhirnya kita akan lebih cepat jadi pemimpin perusahaan.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak akan membuat kita berhenti bekerja, kalau kita mempunyai jiwa kepemimpinan. Tapi sebaliknya, kalau kita terus menerus menjadi bawahan, akibatnya kita tidak punya keberanian menjadi pemimpin. Kita juga tidak akan memiliki keberanian untuk mencoba punya bisnis sendiri. Akhirnya sekarang, kita hanya memiliki dua pilihan: Kita menyerah saja menjadi bawahan atau kita tetap berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Saya rasa, kita sendirilah yang bisa “memotret diri” kita sendiri, dan bukan orang lain. Dan, kita memang harus bisa tumbuh sendiri, tidak soal seberapa besar perusahaan atau bisnis yang dipimpin. Tapi yang penting, kita dengan sadar telah membangun diri kita menjadi pemimpin. Anda berani memimpin ?
read more “Jadi Pemimpin atau Bawahan”

Manajer Berjiwa Entrepreneur

Memajukan perusahaan, saya kira, itu bukan hal yang mustahil. Asal kita mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut. Diantaranya, perusahaan yang kita geluti sekarang ini harus diusahakan memiliki manajer yang benar-benar berjiwa entrepreneur.
Itu sangat penting. Sebab, jika tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis kita sendiri, yakni akan berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Tapi lain halnya, kalau perusahaan kita itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, maka saya yakin bisnis yang kita jalankan akan lebih berpeluang cepat berkembang. Dan, kita juga akan lebih siap menghadapi persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manajer berjiwa entrepreneur akan membuat perusahaan kita lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik optimum itu biasanya jika tidak disentuh dengan manajer berjiwa entrepreneur, akan mengalami kondisi yang menurun.
Saya, sendiri merasakan bahwa, jika suatu perusahaan itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, juga akan selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis.
Dan, perubahan tersebut bagi manajer berjiwa entrepreneur, adalah bagian dari pekerjaannya. Sedangkan, risiko yang timbul pun bagian dari pekerjaannya, Persis seperti yang dikatakan oleh Willim Ahmanson, bahwa dalam bisnis itu, tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh dari tempat satu ke tempat lain.
Maka,  dalam konteks inilah, saya melihat bahwa bisnis itu memang ada tiga komponen, yakni meliput: investor (orang yang mencari risiko), dan manajer (orang yang menghindar dari risiko). Dan, dalam keadaan kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal penting. Apalagi di saat kita harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang Barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengembangan bentuk-bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam pengembangan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa dia memiliki jiwa entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manajer yang berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J. A Schumpeter dalam bukunya “The Entrepreneur as Innovator”. Manajer yang berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, enerjik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpandangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap risiko, senang mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Berbeda dengan manajer yang tidak berjiwa entrepreneur. Maka, dia akan cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang manajer akan mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Dia juga akan kesulitan mengikuti kesulitan setiap langkah-langkah bisnis entrepreneur.
Hanya saja, seorang manajer yang memiliki jiwa entrepreneur itu bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati. Dan, sebaiknya manajer perusahaan kita yang berjiwa entrepreneur itu, kita beri lagi sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha kita yang lain. Atau, bisa juga dia keluar dari perusahaan kita .
Lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, dia memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri. Itu lebih baik. Sebab tindakannya akan membantu menciptakan lapangan kerja. Entrepreneur baru juga akan semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa saja dia akan menjadi pesaing kita sendiri, pesaing perusahaan kita, jika ternyata bisnis yang digelutinya sama dengan kita. Anggap saja, itu sebagai “bumbu penyedap” dalam kita menggeluti bisnis.
read more “Manajer Berjiwa Entrepreneur”

Bagian 5 Jalur Cepat Jadi Entrepreneur Sukses

Janganlah Anda menaruh telur dalam suatu keranjang, kalau tergunjang dan jika semua telur pecah, hilang semua harapan tanpa sisa. Dalam konteks entrepreneur, petuah itu bisa dijabarkan menjadi janganlah menaruh harapan pada satu usaha. Seorang pengusaha akan semakin diakui kepiawaiannya bila sudah berhasil membuka usaha dan berjalan mulus, pikiran untuk merintis usaha kedua, ketiga dan keempat. Janganlah puas untuk mempunyai satu perusahaan sebagai satu-satunya sumber penghasilan saja.
Bisnis itu seperti roda, kadang di atas, kadang pula dibawah. Seiring berjalannya waktu, tak semua jenis usaha bisa bertahan dan langgeng. Untuk itu sebagai back uo sangat dianjurkan seorang pengusaha merintis usaha tanpa harus memikirkan, ada kaitannya antara usaha baru dengan usaha sebelumnya. Sebagai business owner, sebaliknya pengusaha itu tidak perlu focus pada usahanya. Memang saat perintisan usaha, focus memang perlu, tapi setelah usaha berjalan dan para staf atau manajer bisa menjalankannya, pemilik tak perlu focus memikirkan masa depan usaha itu, lebih baik memikirkan ide untuk membuka usaha baru lainnya. Semakin banyak usaha baru yang bisa dibuka semakin banyak lapangan kerja bisa tersedia dan tenaga yang bisa di tampung pun semakin banyak.
Yang tak kalah penting, apapun dalam bisnis hendaknya terus mengembangkan konsep melayani lebih banyak orang. Oleh karena dengan semakin banyaknya orang yang bisa dilayani, bisa ditebak, akan semakin banyak rezeki yang bisa kita petik. Kalau kita melayani ratusan orang yang bisa kita layani lewat usaha kita, maka miliaran rupiah bisa kita peroleh, begitu seterusnya, jadi jangan lelah melayani karena itu akan berbanding lurus dengan rezeki.
Jangan lupa, kalau sudah banyak rezeki banyak pulalah beramal. Jangan berfikir negative pada para peminta sumbangan yang datang, justru kita diingatkan untuk menyumbang. Bahkan boleh ditafsirkan, menyumbang itu ibarat seorang pengusaha yang sedang belajar berinvestasi, memberikan dana tanpa berfikir kepastian. Itu tanda kita berani mengambil resiko, itulah yang menjadi ciri entrepreneur sejati.
read more “Bagian 5 Jalur Cepat Jadi Entrepreneur Sukses”

Banyak Melayani Banyak Rezeki

Barangkali kita semua tahu, bahwa salah satu tugas seorang entrepreneur adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya, entrepreneur adalah sekaligus seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan pada orang yang dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya, entrepreneur sebagai pemimpin, juga sekaligus sebagai orang yang mau melayani. Jangan sampai kemudian terbalik, bahwa pemimpin itu justru minta dilayani.
Dalam konteks inilah, barangkali kita perlu kembali menyadari, bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru saja membuka bisnis, maka sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan. Misalnya, bagaimana kita melayani konsumen. Bagaimana konsumen puas dengan layanan kita. Dan, bagi kita yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka konsumen biasanya diberikan pelayanan oleh karyawan kita. Sedang karyawannya dilayani oleh manajernya, dan para manajer semestinya dilayani oleh direksi. Sedangkan, direksi dilayani oleh pemilik bisnisnya.
Tentu kita akan bertanya, lantas siapa yang melayani si pemilik bisnis? Jawabannya bisa sangat banyak. Tapi yang jelas, menurut konsep melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat untuk dilaksanakan.
Sebagai entrepreneur yang sudah cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu berhubungan dengan banyak orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentunya melayani banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani banyak orang artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan diri kita dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti tidak boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang dilingkungan bisnis kita. Dan, kita tidak mungkin bekerja tanpa harus saling melayani.
Melayani bawahan berarti memberikan perhatian pada bawahan kita. Melayani manajer berarti memberikan penghargaan pada mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan kita yang utama. Perusahaan yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya. Bisnis melayani banyak orang akan mendatangkan banyak omzet.
Saya sependapat dengan Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul “Rich Kid, Smart Kid”. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis yang melayani ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan menjadi jutawan. Nah kalau kita melayani jutaan orang, maka kita pun akan menjadi miliarder. Oleh karena itu, kita sebagai entrepreneur harus selalu siap melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah, dengan kita semakin melayani banyak orang, maka rezeki yang datang pun semakin banyak pula.
read more “Banyak Melayani Banyak Rezeki”

Banyak Sumber Penghasilan

Bisnis, biasanya dimulai dengan coba-coba, kadang malah asal-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat seadanya, dengan orang yang sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai yang serba kekurangan inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam berbisnis. Proses bisnis ini akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin hari mencerdaskan kita.
Belajar dari pengalaman bisnis setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan bisnis kita, mulailah kita memberikan sentuhan manajemen, walaupun itu masih sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang pegang keuangan, ada yang sudah mulai jadi pemasaran. Ada yang bagian produksi, ada juga yang ngurusi karyawan. Malah terkadang ada beberapa pekerjaan masih dirangkap satu orang. Ini adalah proses menuju bisnis yang sesungguhnya. Artinya, bisnis yang memiliki sistem yang baik. Dengan sudah adanya sistem, kita sebagai pengusaha cenderung mengelola perusahaan dengan full time. Kini, setelah ada sistem, cukup dengan part time.
Oleh karena itu, menurut saya, jika perusahaan kita sudah memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif berkembang, maka kesempatan kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka luas, termasuk membuka bisnis baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah membangun bisnisnya yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, daripada ketika memulai bisnis yang pertama. Karena, disaat memulai bisnis yang pertama kita belum mempunyai apa-apa. Sementara, membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya lebih mudah karena bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik. Saya kira, perlu dipertimbangkan matang-matang  jika kita ingin mencoba membangun bisnis yang ke-2, seharusnya bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik.
Dengan aktifitas kita yang sebelumnya full time, dan sebagai entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan kita memiliki banyak waktu luang. Banyaknya waktu luang itu, membuat kita sebagai entrepreneur akan lebih fokus dalam menciptakan bisnis-bisnis baru. Menciptakan bisnis baru itu berarti kita telah menciptakan sumber penghasilan baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem yang baik, maka manajer dan karyawan akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan yang sudah terbagi habis oleh para professional di lingkungan bisnis kita. Dalam konteks inilah, entrepreneur tidak harus fokus. Justru yang harus fokus adalah orang-orang yang mengelola bisnis kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di awal berdirinya bisnis tersebut. Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari fokus yang lain.
Sebagai entrepreneur, sebaiknya kita tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja. Tetapi bagaimana, kita dapat menciptakan banyak sumber penghasilan. Ibarat kita punya telur sepuluh menetas Sembilan, itu lebih baik dari pada hanya mempunyai satu telur yang menetas. Dengan kita membuat bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, kita berharap mendapatkan penghasilan yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita memiliki sumber penghasilan, maka kita sebagai pengusaha mempunyai peluang untuk memiliki kebebasan financial.
Semangat kita menciptakan bisnis ke-2, ke-3, dan seterusnya akan punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan kerja, membagi-bagi keuntungan, dan lain-lain. Artinya, kita sebagai entrepreneur memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Silahkan mencoba!
read more “Banyak Sumber Penghasilan”

Saptuari Sugiharto – Kedai Digital

Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur. Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007.
Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada 2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo atau bergambar para selebriti. “Heran. Kenapa orang-orang begitu bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,” katanya. “Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai dengan kemauannya.”
Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual motor, dan menggadaikan rumah keluarga.
Butuh waktu enam bulan bagi lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing. Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung. Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.
Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer yang memiliki latar belakang pendidikan formal.
Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar.
Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba.
Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial.
Soal yang terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi owner,” katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.
read more “Saptuari Sugiharto – Kedai Digital”

Berani Nyumbang Berani Investasi

Saya berpendapat bahwa sebenarnya keberanian kita memberikan sumbangn pada orang lain atau pihak lain yang kita berikan secara tulus ikhlas adalah sama halnya dengan kita telah memiliki jiwa entrepreneur atau jiwa wirausaha. Saya yakin, pasti Anda bertanya, kenapa demikian? Padahal kita tahu bahwa sebagian uang yang kita miliki telah kita sumbangkan pada orang lain. Tapi, saya melihat, sikap wirausahawan yang seperti itu pertanda bahwa dia telah memiliki keberanian mengambil resiko yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita tetap memiliki kepedulian sosial.
Hanya saja, masing-masing wirausahawan di dalam memberikan sumbangan tentu saja besarnya berbeda-beda. Tergantung keikhlasan masing-masing. Barangkali sudah selayaknya kalau cukup berhasil dalam bisnis kita lantas memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu wajar saja. Berbeda halnya dengan mereka yang pendapatannya masih relative kecil. Namun sekali pun pendapatan kecil sebaiknya kita juga membiasakan untuk menyumbang.
Oleh karena itu, kita tak perlu berfikir negative kalu tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang minta sumbangan. Berpikir positif saja. Justru kita seharusnya berterimakasih pada sang tamu yang meminta sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita sehari-hari dalam menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang mengingatkan kita atau yang mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan sumbangan.
Dalam konteks inilah, mengapa saya menganggap bahwa sesungguhnya pemberian sumbangan ini adalah langkah positif dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan kalau kita berani menyumbang, maka kita tidak akan takut lagi berinvestasi. Kita juga tidak akan takut lagi memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita sudah terbiasa terlatih dengan ketidak-takutan dalam memberikan sumbangan. Berani menyumbang dan berinvestasi merupakan keberanian kita untuk menghadapi resiko dan ketidak-pastian.
Singkatnya kalau kita berani menyumbangpasti kita telah memiliki keberanian memulai bisnis atau mengembangkan bisnis, dan memiliki keberanian berinvestasi. Sesungguhnya keberanian kita memberikan sumbangan mudah-mudahan akan membantu melancarkan bisnis yang kita jalani saat ini. Percayalah, banyak menyumbang banyak rezeki.
read more “Berani Nyumbang Berani Investasi”

Mengambil Keputusan

“Haruskah saya membuka rumah makan padang ?” itulah pertanyaan yang sempat muncul dalam benak saya saat itu. Ketika ide semacam ini saya coba lontarkan pada orang lain, mereka malah pesimis dan menanyakan: “Mengapa Anda harus membuka bisnis rumah makan padang, padahal bisnis seperti itu’ kan sudah menjamur.  Apakah punya prospek bagus?”
Dengan adanya berbagai komentar tersebut, membuat saya semakin tertantang untuk membuktikannya. Padahal, sebelumnya saya sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi hal itu saya anggap sebagai peluang bisnis.
Sebagai entrepreneur, saya harus berani mencoba untuk membuktikannya, dan sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun saat ini saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir. Pada akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis ini. Saya yakin peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat menengah keatas.
Ternyata, bisnis ini berwujud dan jalan, bahkan dimasa krisis pun, saya optimis bisnis rumah makan tetap prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh masyarakat, artis, dan kalangan pengusaha.
Didalam mengambil keputusan, pertimbangan intuisi saya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang sebagai entrepreneur kita harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik untuk mengambil keputusan dalam bisnis, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemungkinan kita tidak menyadari prosesnya, bahwa setiap keputusan yang kita buat dengan menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak pengalaman yang saya alami.
Saya merasa betul, betapa tajamnya sentuhan intuisi itu. Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan dalam membuat keputusan. Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti bisnis maupun kehidupan ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab, intuisi akan ikut membuka pikiran dan memberikan nilai tambah bagi emosi kita, dan intuisi memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap situasi.
Intuisi menjadi sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan sekarang, namun juga untuk kepentingan masa depan. Sebab, diperkirankan tantangan bisnis di masa mendatang, relative berbeda dengan sekarang. Perubahannya sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu, sehingga sulit bagi kita untuk memprediksikannya.
Suatu tantangan dengan tingkat turbulensi yang tidak menentu semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita semakin berperan dalam setiap mengambil keputusan. Kemungkinan ilmu manajemen yang sekarang kita geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan yang akan terjadi di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap, bahwa bisnis yang kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.
Kita sebagai entrepreneur, disukai atau tidak, harus tajam dalam intuisi. Kita harus mampu berfikir cepat dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang unik pada intuisi, yakni berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu tidak linier (bermacam-macam pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu sebabnya, mengapa kebanyakan entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau langkah dalam bisnisnya, sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani menghadapi resiko.
Oleh karenai itu, saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa antara intuisi dan irasionalitas, saling berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil merupakan campuran berbagai macam ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang kadang-kadang saling bertentangan. Sehingga “sentuhan” intuitif itu memungkinkan kita membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain yang akan kita gunakan untuk mengambil keputusan.
Menurut Quin Spitser dan Ron Evans, intuisi adalah analisa kilat dari fakta menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal dengan adanya intuisi bisnis. Didalamnya ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas, pengalaman banyak, dan mental yang dalam. Intuisi ada 4 empat tingkatan, yaitu bisa muncul melalui fisik, emosi, mental, dan spiritual.
Banyak cara mengembangkan intuisi, diantaranya seperti yang dikembangkan oleh Robert K. Cooper, Phd, yaitu: terjun kedalam pengalaman, kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap terbuka terhadap segala kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara untuk mengatasi apapun yang menghalanginya. Selain itu Cooper juga menyarankan, supaya peluang pengindraan harus keluar dunia bisnis, berikan perhatian ekstra kepada tanggapan pertama terhadap pertanyaan-pertanyaan, perhatikan bagaiman intuisi berkomunikasi dengan diri kita, luangkan waktu beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan kecerdasan emosional, dan jangan lupa memperluas rasa percayadiri. Anda berani mencoba?
read more “Mengambil Keputusan”

Bagian 6 Hati Nurani dan Intuisi Sang Entrepreneur

Dalam bisnis, intuisi atau mengedepankan peran otak kanan ketimbang hitungan rasional adalah penting. Untuk itu, ketajaman intuisi seorang entrepreneur mestinya terus di asah. Kadang dalam menjalankan usaha apalagi yang sudah berjalan lama akan terjadi status quo atau kejenuhan. Bagian ini akan memberikan solusi bagaimana mengatasi kejenuhan dalam usaha, selain memikirkan ide usaha baru, tak ada salahnya seorang pengusaha bisa melakukan jamming. Seperti dalam music jazz, musisi bisa melakukan jams session alias melakukan improvisasi bunyi dan nada music yang berbeda.
Seperti dalam music jazz, dalam bisnis juga perlu adanya harmoni dalam melakukan improvisasi. Untuk itu, sebaiknya antara pemilik usaha dan para manajer dan staf harus ada kesamaan harmoni dan simponi, agar ide-ide bisnis yang hendak diciptakan selaras dan ‘enak dinikmati’ serta tidak terkesan main sendiri-sendiri. Kalau antara pemilik usaha, para manajer dan para staf terjadi harmoni dan kompak dalam melakukan jamming atau improvisasi, pasti akan muncul gagasan – gagasan baru yang segar, sehingga membuat bisnis terus maju dan penuh gairah. Bisnis menjadi arena kehidupan yang menyenagkan dan menantang untuk diarungi. Itulah dunia entrepreneur.
Tolak ukur kesuksesan sebuah usaha adalah terus bergerak maju dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Dengan terus menggunakan kepekaan kita terhadap kondisi dan tuntutan pasar yang berubah, kita juga harus bersikap terbuka menerima ide-ide baru, dengan begitu kita semakin tangkas mengkap ide-ide bisnis baru dan tampil sebagai pelopor atau trendsetter dalam bisnis itu. Menjadi yang pertama dan utama, disitulah sukses awal bisnis bisa dipetik!
read more “Bagian 6 Hati Nurani dan Intuisi Sang Entrepreneur”

Jamming

Dalam menghadapi dan menjawab kondisi ekonomi yang terus berkembang, cenderung berfluktuatif, dan tidak menentu sekarang ini, maka saya pikir sebaiknya kita melakukan jamming. Tom Peter, mengungkapkan bahwa perubahan yang serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda zaman edan.
Sehingga, disukai atau tidak disukai, kita harus berani akrab dengan kekacauan. Saya yakin, jika kita punya keberanian yang besar untuk melakukan jamming akan sangat mungkin membantu bisnis kita untuk terus berkembang.
Menurut John Kao, pakar kewirausahaan terkemuka yang pernah mengajar di Harvard Bussiness School dan Stanford University, jamming itu identik dengan improvisasi inilah akan memunculakn banyak ide-ide bisnis yang kreatif dan inovatif. Dan hal ini akan sangat menguntungkan bagi kemajuan bisnis kita.
Hanya masalahnya sekarang adalah, apakah “pemain lain” atau katakanlah manajer dan karyawan kita itu bisa kompak atau tidak dalam melakukan jamming. Saya berpendapat bahwa jamming akan berhasil, jika dibawahnya kompak. Ini penting. Mengingat, bahwa setiap manajer maupun karyawan adalah mitra kreatif dalam bisnis kita. Dengan begitu, kita sebagai entrepreneur akan lebih siap menghadapi setiap perubahan, dan akan lebih siap lagi mengatasi krisis, jika kita berhasil melakukan jamming.
Memang, tidak setiap perusahaan itu berani melakukannya. Antara lain, karena masih adanya perasaan takut dengan munculnya perubahan. Masih adanya keinginan untuk mempertahankan status quo. Tapi, saya pikir, jika sesuatunya tidak jelas kedepan, maka lebih baik jamming. Sehingga, kita akan lebih bisa leluasa untuk bertindak luwes dalam berbisnis pada situasi apapun.
Jamming atau improvisasi menurut saya, bukanlah seni ynga hanya dimiliki musisi jazz. Tapi jamming juga harus dimiliki oleh entrepreneur yang memiliki intuisi yang tajam. Dan, kalaupun misalnya, manajer atau karyawan kita juga melakukan jamming dengan melontarkan ide-ide kreatif yang dapat dilaksanakan, itu juga positif.
Anggap saja, ide-ide kreatif yang berbeda-beda dalam perusahaan kita seperti bunga yang berwarna-warni yang semerbak harum baunya. Namun, tentu saja semua ide-ide bisnis kreatif itu harus tetap terkoordinasi dengan baik. Pendeknya, kita sebagai entrepreneur harus bisa memimpin atau megkoordinasikan semua itu.
Kita lihat saja, bagaimana para musisi jazz itu mampu bermain dalam sebuah struktur. Mereka bersepakat tentang siapa yang akan bermain, dan kapan memulainya. Karena ada yang memimpin, maka mereka menjadi kompak, sehingga melahirka irama-irama musik yang terdengar merdu. Sebaliknya, jika terjadi ketidak kompakan itu justru akan menimbulkan kebisingan. Sebab, musik jazz sebagimana halnya bisnis memang menggambarkan serangkaian perilaku kita yang seimbang. Artinya setiap permainan walaupun eksperimental, namun kesemuanya tetap masih bisa diatur sedemikian rupa. Begitu juga dalam bisnis.
Saya rasa “permainan-permainan” semacam ini akan sangat mungkin terjadi. Ada baiknya, hal itu janganlah sebagai hambatan didalam kita menggeluti bisnis. Tapi, justru hal itu akan lebih membuat kita dinamis, penuh semangat, dan tekun dalam berbisnis. Oleh karena itu, di era global yang terus menerus menuntut kita untuk melakukan hal-hal baru secara lebih cepat seperti sekarang ini, ada baiknya selalu melakukan jamming. Anda berani mencoba?
read more “Jamming”

Paradigma Bisnis di Era Milenium

Zaman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Itu barangkali, yang kita rasakan saat ini. Maka, agar kita tidak ketinggalan zaman, sebaiknya entrepreneur harus lebih mampu bergerak cepat, lebih, proaktif,dan berani mengambil risiko. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengatisipasi kemungkinan munculnya berbagai kendala bisnis yang mungkin terjadi. Bukan bersikap seperti dulu, yang hanya reaktif dan menghindari risiko.
Saya jadi teringat dengan Rupert Murdoch, yang melangkah cepat dalam bisnisnya. Pada saat bos perusahaan lainnya masih terlelap tidur, ia selalu menjadi penelepon pertama untuk melakukan negosiasi bisnis, Dengan bergerak cepat, ia mampu mengambil keputusan lebih cepat dari pesaingnya. Bagi Murdoch, bergerak lamban adalah milik mereka yang kalah.
Langkah semacam ini, saya kira menunjukkan, jika kita tidak bertindak dan bergerak, maka bisnis yang kita geluti sekarang akan sulit bergerak maju. Karena, pada dasarnya, bergerak adalah awal kesuksesan bisnis kita.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Matthew J. Kieman, penulis “The Commandements or the 21 st Century Management” yang mengatakan, bahwa dalam bisnis telah terjadi pergeseran paradigm. Jika, di abad ke-20, bisnis kita lebih terkesan stabil dan bisa diprediksi, namun di abad ke-21 atau di era milenium ketiga ini, perubahannya cenderung terputus-putus.
Begitu pula, bisnis kita yang dulu lebih didasarkan ukuran dan skala, tapi kini lebih pada kecepatan dan responsive. Kepemimpinan, kalau dulu banyak dilakukan dari atas, kini dilakukan semua orang. Maka, tak mengherankan bila dalam menjalankan bisnis di era milenium ketiga ini, memang dituntut untuk lebih luwes, tidak kaku. Sebab, perjalanan bisnis lebih kendalikan oleh visi dan nilai-nilai. Dibandingakan sebelumnya yang semata-mata hanya dikendalikan peraturan dan hierarki.
Selain itu, kalau kita dulu di dalam menjalankan bisnis selalu membutuhkan kepastian, tapi kini harus lebih toleran terhadap ambiguitas atau memiliki sikap mendua. Soal informasi bisnis demikian juga, yang sebelumnya hanya untuk pucuk pemimpin, tapi kini disebarkan ke semua orang. Sehingga, saat ini bisnis tak lagi mengandalkan pada analisis kuantitatif, namun lebih pada kreativitas dan intuisi.
Tanpa itu, saya kira bisnis yang kita jalankan sekarang ini akan banyak tersendat atau sulit untuk maju. Bahkan kalau dulunya kita beryakinan, bahwa masing-masing perusahaan bisa mandiri, tapi sekarang terasa sulit. Oleh karena pada dasarnya, perusahaan-perusahaan akan saling tergantung satu dengan yang lainnya.
Pergeseran paradigma bisnis di era milenium ini, juga akan mengajak kita kalau dulu hanya berfokus pada organisasi internal, tapi kini kita harus lebih fokus pda lingkungan yang kompetitif. Juga dari integrasi vertikal ke integrasi maya. Seperti  Amazon,com, took buku virtual pertama dan terakbar di dunia maya. Bahkan kalau dulu kita hanya bersaing untuk pasar masa kini, tapi sekarang kita justru lebih tertantang untuk menciptakan pasar masa depan. Oleh karena itu, kita jangan lagi hanya mengandalkan pada keunggulan kompetitif yang berkesinambungan tapi justru harus terus-menerus mencari keunggulan.
Saya yakin, dengan kepekaan kita terhadap kondisi tersebut, maka kita akan lebih siap menghadapi kondisi yang berubah-ubah, lebih terbuka menerima ide-ide baru. Bahkan, kita akan lebih piawai dalam mengambil kesempatan bisnis, lebih berani mengambil risiko, dan tentu saja akan lebih siap meraih keberhasilan. Anda berani mencoba?
read more “Paradigma Bisnis di Era Milenium”

Hobi Bisnis dan Pekerjaan Golf

Golf sebagai olah raga  atau sport yang tak hanya untuk kesehatan saja, tapi secara psikologis kita juga akan mendapatkan suasana yang hampir sama dengan kegiatan bisnis. Misalnya, ketika kita harus memukul bola, bola bisa jauh atau dekat, lurus atau kiri-kanan, bisa masuk ke lubang, tapi bisa juga tak masuk ke lubang. Bisa sukses, bisa gagal. Begitu juga dalam menekuni bisnis. Bisnis kita bisa saja sukses, tapi bisa juga gagal.
Dalam olah raga golf, ketika kita gagal memasukan bola ke lubang, maka kegagalan itu bisa saja kita perbaiki pada saat itu juga, walaupun mungkin sudah masuk dalam hitungan atau penilaian. Soal penilaian tentu saja berbeda saat kita masih sekolah dulu. Katakanlah, kalau saat sekolah dulu kita mendapatkan nilai 8 atau nilai 9 tentu saja nilai itu sudah bagus. Sementara, di golf berbeda. Justru nilai 8 atau nilai 9 itu jelek. Lantas, nilai yang terbaik adalah 1, atau yang biasa disebut hole in one. Sedang nilai baik lainnya 2, 3, 4, 5 tergantung jaraknya (par-nya). Itu sama artinya, permainan kita bagus kalau saja saat kita memukulnya paling sedikit atau banyak melakukan kesalahan atau kegagalan.
Sedang kalau dalam bisnis kegagalan itu bisa berisiko financial. Tapi dalam golf, kegagalan itu biasa kita artikan bahwa, bola lari kanan-kiri, bola masuk kolam, bola hilang, mukulnya banyak. Tentu kalau kita jelek kita akan penasaran dan ingin mengulangi supaya mainnya lebih bagus. Jika kita main bagus, juga akan membuat kita penasaran untuk mengulangi lagi.
Manfaat lain dengan kita rajin berolahraga golf, kita akan bisa ambil hikmahnya pada aspek manajemennya. Dalam konteks inilah, saya melihat bahwa manajemen golf itu sendiri sangat baik untuk kita pelajari. Misalnya, bagaimana kita menggunakan berbagai alat pemukul bola dan stik. Alat tersebut seperti kita ketahui punya fungsi yang berbeda, yang membuat jarak pukulannya juga berbeda. Termasuk kejelian kita mau pakai stik nomor berapa untuk memukul bola golf itu. Memang, tak sedikit tantangan atau hambatan yang harus kita lakukan. Misalnya saja bagaimana cara memukulnya, kalau bola itu masuk bunker atau pasir. Belum lagi, menghadapi arah angin yang kencang. Dan setiap kita bermain akan mendapatkan suasana yang berbeda. Sama dengan bisnis kita.
Nah, kalau saat ini sebagai entrepreneur, tak ada salahnya kita mempelajari manajemen golf sehingga kita pandai dalam memilih staf dan karyawan. Kita juga akan semakin banyak relasi atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain, dan membuat kita lebih mudah cepat akrab. Jelas, manfaatnya kita akan bisa melakukan lobi-lobi bisnis. Selain itu bukan hal yang tak mungkin, segala keputusan bisnis bisa kita lakukan dari lapangan golf. Dalam mengelola perusahaan, kita bisa juga melakukan dari lapangan golf. Misalnya dengan menggunakan teknologi seperti HP, itu kita bisa manfaatkan untuk bisnis.
Oleh karena itulah, ketika kita sering melihat orang yang sehari-harinya di lapangan golf, namun ternyata bisnisnya tetap saja jalan. Sehingga tak mengherankan kalau kita lantas berkomentar, “Orang itu hobinya bisnis, tapi pekerjaannya main golf.”
read more “Hobi Bisnis dan Pekerjaan Golf”

Manajemen Restoran Padang

Ada sebuah manajemen yang menarik di Indonesia, setidaknya itu menurut saya , yaitu manajemen restoran padang. Mengapa demikian? Itu karena model manajemen ini menerapkan transparansi dalam keuangan dan pembagian keuntungannya lewat sistem bagi hasil.
Dampak dari model manajemen ini, memang tidak hanya pada faktor manajerial semata, tetapi juga berdampak pada faktor pelayanan. Di mana, pelayanan yang serba cepat menjadikan Restoran padang dikenal. Kita pun bebas memilih menu. Menu pun bervariasi, begitu juga minumannya. “Menu Nano-Nano” begitulah, banyak orang yang menyebut buat aneka menu yang dihidangkan dan pasti dijamin halal.
Selain itu kelebihan Restoran padang adalah selain pelayanan cepat, juga lebih terkesan fleksibel. Artinya, hidangan yang kita pesan itu bisa saja dimakan di restoran tersebut, tapi kita bisa juga meminta karyawan Restoran padang untuk membungkusnya dan kita santap di rumah. Dan satu lagi, masakan padang punya rasa yang khas, dan memenuhi selera hampir semua masyarakat dari berbagai Negara. Selain itu, faktor kebersihan ruangan juga selalu mendapat prioritas.
Dalam manajemen, di mana ada manajer dan karyawan. Pada karyawan sendiri ada yang bagian dapur induk (koki), book keeper (pembuka), pantry (buat minuman), palung (pembawa makanan), teller (pembayar pemasok), kasir, writer dan waitress. Saya juga melihat, selain trnsparan model manajemen bagi hasil itu telah menjadikan restoran padang punya ciri khas sendiri.
Dan yang menarik lainnya adalah hubungan antara pemilik modal dengan manajemen lebih sebagai mitra. Karena apa? Mereka tidak mendapatkan gaji, namun mereka mendapatkan bagian dari keuntungan bersih restoran tersebut. Jadi, dalam memberikan keuntungan itu, memang ada pembagian untuk penanam modal sendiri dan ada pula bagian keuntungan manajemennya atau karyawannya. Itu biasanya dibagikan setelah keuntungan 2,5% untuk zakat.
Sedang pendapatan karyawan adalah dengan sistem poin. Jadi setiap karyawan punya poin atau nilai. Dan biasanya perhitungan dilakukan setiap 100 hari sekali. Nilai tertinggi ada pada karyawan yang bekerja di dapur induk (koki). Mengapa demikian? Karena pada bagian inilah yang mampu memberikan nilai rasa menu makanan maupun minuman yang dihidangkan.
Saya kira, manajemen semacam ini akan membuat mereka yang bekerja di restoran padang selalu punya semangat tinggi. Dan semakin tinggi semangat mereka bekerja, menjadikan hasil yang diterima banyak. Kalau malas hasilnya pun sedikit. Selain itu, sistem keuangan yang selalu transparan menjadikan setiap karyawan level apapun tahu berapa omzet yang diraih perusahaan dalam setiap harinya. Sehingga hal itu menjadikan karyawan lebih termotivasi untuk maju. Di samping itu, manajemen padang juga mendidik karyawannya lebih kompak dalam bekerja. Sebab, tanpa ada kekompakan mereka bekerja hasil yang diraih berkurang. Bahkan, bukan tak mungkin hal itu menimbulkan dampak pada pelayanan maupun rasa.
Oleh karena itu, saya kira manajemen padang ini bisa sebagai alternative, dan cukup bagus untuk kita terapkan pada sector jasa maupun produksi lainnya. Dan, satu hal lagi yang menarik adalah, karyawan restoran padang dengan manajemen seperti itu, tidak membuat setiap karyawannya menanyakan kapan SK (surat keputusan) pengangkatan kerja itu dibagikan. Mereka juga tidak akan menanyakan kapan naik gaji. Sebaliknya, justru mereka berupaya bagaimana harga poinnya bisa selalu naik. Karena harga poin itulah yang akan menentukan jumlah penghasilan setiap bulan. Jadi yang menentukan penghasilan adalah dirinya sendiri. Anda berani mencoba?
read more “Manajemen Restoran Padang”

Dengan Otak Kanan Mengubah Musibah Jadi Barokah

Dalam bisnis, laju dan majunya perusahaan terkadang tergantung dari sudut mana kita melihat suatu peristiwa yang kita alami dalam menjalankan usaha kita sehari-hari. Hak itu pula yang saya alami dalam 25 tahun terakhir ini, jangan dikira, sebelum akhirnya memiliki 600-an cabang Bimbel Primagama dan membuka puluhan usaha lain, banyak sekali moment bisnis saya alami dengan beragam peristiwa tragis. Akan tetapi hal itu justru mempertajam intuisi kita dalam mengembangkan usaha. Cerita berikut bisa menjadi pengalaman bagi Anda betapa suatu tragedy terkadang tak selamanya jadi halangan untuk mengembangkan usaha.
Dulu, ketika saya mengembangkan cabang baru Primagama di kota Solo, ada satu tragedy menarik yang bisa saya ceritakan untuk pembaca. Kisahnya bermula dari mencari tempat usaha. Setelah survey sana-sini, kami menemukan lokasi strategis untuk cabang pertama Primagama di Solo, yakni sebuah rumah di Jalan Honggowongso. Akan tetapi kondisi rumah tidak siap pakai, esok harinya saya perintahkan tukang untuk membawa perlengkapan bangunan dan pertukangan untuk merenovasi rumah itu. Semua perlengkapan dibawa dengan colt pick up dari Yogjakarta menuju Solo.
Rupanya dalam perjalanan ke Solo, di Klaten, mobil pengangkut material itu malah menabrak pohon, barang bawaan jadi rusak dan hancur. Saya sempat marah dengan sopir waktu itu. “Memangnya kamu tidak melihat ada pohon nyebrang jalan kok sampai kamu tabrak?” kejadian itu memang sempat menjadi diskusi di kantor Primagama Yogja. Itu pertanda buruk, jangan buka cabang di Solo dulu, itu musibah yang kata orang Jawa malati, bawa sial. Jadi sebaiknya ditunda dulu keinginan buka cabang di Solo, sebelum juga mulai tapi sudah terjadi musibah, begitu komentar banyak teman kantor.
Tapi waktu itu, dengan pola pikir otak kanan, saya justru punya pandangan lain. Kasus tabrakan itu dalam pandangan otak kanan saya justru ujian dalam bisnis. Dan biasanya ujian itu adalah harga tebusan untuk meraih sukses yang lebih besar, kalau belum-belum sudah kena musibah, saya yakin Tuhan justru menjanjikan barokah rezeki besar menanti di depan kalau kita berhasil melaluinya. Oleh karena itu, saya perintahkan untuk jalan terus dan tetap membuka cabang Primagama Solo, ya di Jalan Honggowongso.
Alhamdulillah, intuisi otak kanan dalam melihat peluang bisnis saya tak keliru. Justru sampai sekarang di Solo yang kini sudah menjadi hampir 19 outlet bimbingan, menjadi salah satu outlet Primagama paling gemuk dan paling banyak siswanya. Coba, kalau dahulu saya memenuhi saran banyak orang untuk membatalkan buka cabang di Solo, cerita sukses dari cabang Solo tak akan terjadi dan boleh jadi sampai sekarang. Primagama tak akan pernah punya cabang di Solo, karena percaya takhayul bisnis yang ternyata terbukti tidak benar.
Dalam mind set otak kanan, tidak ikut arus dan berani menentang pola pikir lama yang menjadi keyakinan banyak orang. Boleh jadi, saat melihat musibah yang kita hadapi dalam perjalanan bisnis dengan cara pandang yang berbeda, bisa jadi kunci sukses kita. Tak jarang justru musibah bisa berbuah barokah! Untuk itu, saya selalu menyarankan kepada banyak teman, kalau memang kita yakin pada intuisi kita bahwa apa yang kita lakukan benar dan akan mencapai sukses, kita harus menjalani target bisnis kita dengan ngundung (keteguhan hati – istilah Jawa). Ya, kalau memang sudah mau, ya harus dilakukan dengan keteguhan hati. Sudah banyak saya buktikan kalau memang kita benar dan punya keteguhan hati, pasti kita bisa meraih sukses.
Satu lagi bukti, bahwa keyakinan dan optimisme yang menjadi intuisi, mengantar kita menuju sukses bisnis. Beberapa tahun lalu ketika saya membuka sekolah Entrepreneur University dengan konsep tanpa nilai, tanpa ujian dan diwisuda setelah siswa terbukti berhasil menjadi pengusaha itu sempat membuat Dirjen Dikti keberatan dan mengirimkan surat teguran kepada saya. Intinya saya tidak diperbolehkan menggunakan istilah University pada sekolah entrepreneur itu. Oleh karena untuk menggunakan istilah University harus banyak aturan formal yang dipenuhi.
Saya tidak takut dengan teguran itu. Dengan santun saya balas surat teguran itu dan di surat tersebut saya jelaskan bahkan University dalam Entrepreneur University itu hanya sebuah nama. Apalah artinya sebuah nama. Karena, argument saya, Laksamana Sukardi juga bukan seorang laksamana dan Christine Hakim juga bukan seorang hakim pengadilan. Alhamdulillah sampai sekarang surat teguran itu juga tak dibalas lagi dan sampai sekarang EU sudah berkembang di banyak kota di Indonesia. Dan telah melahirkan ribuan pengusaha baru yang jauh lebih berguna bagi bangsa ini, daripada banyak lulusan universitas-universitas pada umumnya. Otak kanan kembali membuktikan bisa mengubah bencan atau ancaman, justru menjadi peluang yang gemilang.
read more “Dengan Otak Kanan Mengubah Musibah Jadi Barokah”